Anugerah Allah swt. memang sungguh luar biasa. Tak henti-hentinya aku memanjatkan puji dan syukur kepada-Mu, ya Rabb. Dan memang seharusnya puji dan syukur selalu terpanjat untuk-Mu. Sebab, semua pujian hanya milik-Mu semata. Ah, entah mimpi apa aku dulu hingga aku bisa diperkenankan menginjakkan kakiku di negeri sebiru khayalan ini. Benar, negeri sebiru khayalan. Bagiku Mesir adalah negeri seribu khayalan. Karena banyak sekali kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan yang aku temukan di sini. Kalau sebagian Masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) ada yang mencerca dan mengeluhkan kehidupan di Mesir, itu wajar-wajar saja. Alasan mereka juga logis; banyak antrianlah, birokrasi yang nggak jelaslah, masyarakatnya egoislah, banyak kejahatanlah, dan lain sebagainya yang semua itu bisa membuat hati seseorang menjadi jengkel. Namun, di balik itu semua aku menemukan sisi-sisi unik dan menakjubkan di negeri ini. Sisi sisi janggal yang belum pernah aku dapatkan maupun aku dengar di negeri lainnya, bahkan di negeriku sendiri.

Seperti biasa, di sela-sela kesibukanku dengan naskah-naskah maupun buku-buku yang menumpuk, aku masih menyempatkan diriku untuk menimba ilmu. Tempatnya seperti biasa, di masjid Al-Azhar. Masjid kuno yang kental dengan nuansa sejarahnya. Aku menganggapnya sebagai rumahku yang kedua. Karena hampir setiap harinya aku di sini, baik untuk sekedar melepas lelah, belajar diktat, maupun mengikuti pengajian bersama masyayikh al-Azhar. Meski jarak masjid itu dengan rumah kontrakanku bisa dibilang sangat jauh ditambah lagi udara kairo yang tidak begitu bersahabat, namun itu tak menghalangi niatku untuk terus menuntut ilmu.

Beberapa hari yang lalu, seperti biasanya sehabis shalat Dhuhur di masjid Al-Azhar seringkali diadakan ceramah agama. Saat itu yang bertugas mengisi ceramah tersebut adalah Syeikh Musthafa Mahmud, seorang imam sekaligus khatib masjid Sulthan. Baliau adalah seorang yang alim dan tawadhu'. Ceramah yang disampaikannya pun sangat menarik dan menyentuh hati. Saat itu aku hanya bisa mengikuti ceramahnya beberapa menit saja. Sebab, di saat yang bersamaan pula aku mempunyai jadwal ngaji lesehan (talaqqi) al-Fiyyah ibnu Malik bersama DR. Fathi Hijazi, dosen bahasa Arab fakultas bahasa dan sastera Arab Universitas Al-Azhar. Kami beserta teman-teman lainnya yang berasal dari berbagai negara langsung membuat suatu halaqah (lingkaran) di pojok masjid Al-Azhar, sembari menunggu kehadiran DR. Fathi yang kebetulan beliau masih ada kesibukan di kuliah. Disaat kami sedang menunggu kehadiran guru kami tersebut, tiba-tiba muncul sosok laki-laki separuh baya memakai pakaian serba putih berjalan menuju halaqah kami. Aku tidak menyangka sebelumnya, ternyata laki-laki tersebut adalah Syeikh Musthafa, imam agung sekaligus khatib masjid Sulthan yang baru saja mengisi ceramah di masjid Al-Azhar. Tanpa basi-basi beliau langsung berbaur dengan kami. Beliau duduk lesehan seperti halnya para santri lainnya. Sungguh menakjubkan. Saat itu air mataku tak sempat aku bendung. Hanya kekaguman yang terus menerus menyelimuti diriku saat melihat sosok alim dan tawadhu' itu. Statusnya sebagai imam sekaligus khatib di masjid Sulthan, ditambah lagi sebagai penceramah di masjid Al-Azhar, tentu keilmuan beliau tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, pihak Al-Azhar tentunya tidak sembarangan memilih seseorang untuk mengisi ceramah di masjid itu. Meski demikian, semua itu tidak menghalangi niat beliau untuk tetap menuntut ilmu lagi. Ditambah lagi sikap tawadhu' beliau yang rela duduk-duduk lesehan bersama kami menunggu bersama kehadiran seorang syeikh yang akan mengajarkan ilmu kepada kami meski hanya untuk mendapatkan sedikit ilmu saja yang akan disampaikan. Dalam hati aku pun bertanya pada diriku sendiri, "Masih adakah sosok-sosok seseorang seperti beliau di negeriku? Orang yang alim dan tidak malu-malu untuk ikut duduk-duduk lesehan mendengarkan dars dari Syeikh (orang pintar) lainya. Ah, kalaupun ada pasti mereka lebih memilih berada di tempat yang khusus dan tidak mau duduk lesehan.

Aku bersyukur sebab tanpa disengaja aku telah diajarkan bagaiamana seorang pencari ilmu harus bersikap tawadhu'. Mungkin benar filosofi padi, semakin tua padi itu, maka semakin pula ia merunduk. Semakin banyak ilmu yang didapatkan oleh seseorang, maka ia semakin rendah hati. Mengapa bisa demikian? Sebab, semakin banyak seseorang mengetahui sesuatu, sebenernya ia akan semakin tahu betapa bodohnya dia di hadapan luasnya ilmu Tuhannya. Maka, tak heran jika ulama sekaliber Ibnu Athaillah as-Sakandary, dalam munajatnya seringkali beliau mengatakan,

Tuhanku, aku bodoh dalam tahuku,

Apatah lagi dalam bodohku?
Diposting oleh Mesba Label:

2 komentar:

Nihaya mengatakan...

Pertama-tama saya ucapkan terimakasih karena telah bersedia untuk berbagi apa yang ada disana dan ternyata memang hal tersebut tidak ada disini.

Yang kedua, perkenankan saya memberi "Testimon tidak bermutu" disini, dan komen tersebut adalah :
Mas Misbah ini kok mirip lakon Fahri dalam serial ayat-ayat cinta ajah...hhehe. Lihat saja pada kalimat "Seperti biasa, di sela-sela kesibukanku dengan naskah-naskah maupun buku-buku yang menumpuk, aku masih menyempatkan diriku untuk menimba ilmu....Meski jarak masjid itu dengan rumah kontrakanku bisa dibilang sangat jauh ditambah lagi udara kairo yang tidak begitu bersahabat, namun itu tak menghalangi niatku untuk terus menuntut ilmu." Atau kalau aku kalimatkan sendiri "Aku lebih takut panasnya Mahsyar daripada panasnya Kinanah saat ini"...hehehe
'Peace' yak Mas?.
Tapi tak ada kata selain "Salut dah..!"

Dan yang ketiga, testimon agak bermutu dibanding yang kedua -setidaknya- hehe. Here it is :
Saya setuju dengan semakin tahu kita maka harusnya semakin rendah hati kita. Kemarin saya bicara semakin tinggi tempat yang kita daki harusnya semakin rendah juga hati kita. Tapi masnya agak mendebat argumen. Bukan semakin tinggi tempat semakin sulit medannya. Dan semakin tinggi tempat yang kita daki semakin tahu betapa tidak berdayanya manusia, betapa kecilnya ia dalam penciptaan alam semesta. Kalau saja Ibnu Athaillah suka climbing mungkin juga akan berkata "Tuhan, aku lemah dalam tahuku. Apatah lagi dalam lemahku?".
Hehehe

That's it.

1 Juli 2009 pukul 16.45  
Mesba mengatakan...

Saya ucapkan selamat datang buat Niha yang berkenan mampir di blog yang ngak jelas ini. Welcome, Ahlan wa Sahlan bikum.

Menanggapi testi yang kedua, saya rasa Niha terlalu berlebihan jika menyamakanku dengan sosok Fahri dalam ayat2 cinta. Menurutku, itu hanya ada dalam dunia fiksi belaka dan sngt sedikit sekali ada di dunia nyata. Mungkin itu adalah cita2 kang abik yang nggak kesampean kali, jadi imaginasinya terlalu tinggi untuk memunculkan sosok sesempurna Fahri. Klo boleh saya katakan, saya adalah diri saya sendiri dengan segala kekurangannya.

Untuk testi yang ketiga, sebenere kemaren tuh aku cuma bercanda, nggak bermaksud untuk mendebat argumenmu. Biasalah, aku nggak pernah bisa diajak serius. Jadi klo diajak diskusi ato apalah mesti cengengesan. Saya pribadi juga sependapat denganmu. Semakin tinggi gunung didaki, semakin banyak pula rintangannya dan benda2 yang ada di bawahnya pun terlihat kecil. Dan saat itu kita sadar bahwa diri kita terlihat kecil di antara ciptaan-Nya. Karena saya pribadi orang pesisir, saya bisa merasakan saat berada di tengah-tengah laut dengan terapaan ombak yang dahsyat. Saat itu kita tak bisa berbuat apa-apa, dan kita terlihat tak berdaya, mirip sekali dengan firman Allah, "maka apabila mereka naik bahtera di tengah lautan luas, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke daratan, tiba-tiba mereka kembali
mempersekutukan Allah," (QS. Al-Ankabut: 65). Dengan halus dan manis sekali Tuhan mensitir kehidupan manusia dengan membuat perumpamaan bahtera di tengah lautan luas. Dan memang benar di saat seperti itu manusia merasakan katakutan yang mencekam. Bagaimana tidak, disekelilingnya terdapat ombak besar yang siap menghempaskannya, tidak ada makhluk lain yang bisa menolongnya dan suasa hati manusia saat itu persis yang digambarkan dalam firman Allah ini, "Ya Allah, andaikan aku selamat sampai ke tanah tepi, Ya Tuhan, aku akan sungguh-sungguh menjalankan agama-Mu, aku akan taat dan patuh, semua suruhan-Mu aku kerjakan dan semua larangan-Mu akan aku hentikan."

1 Juli 2009 pukul 21.39  
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates