Ayahku pernah bilang,
"Sing penting pinter ndisik, liyane dipikir keri."
(Yang penting pintar dulu, urusan yang lain dipikirkan kemudian)
Kapan manusia bisa pintar??
Ketika manusia merasa sudah pintar
Sebenarnya dia sedang mengidap virus kebodohan
Sebaliknya, semakin banyak membaca, manusia semakin tersadar bahwa dirinya bodoh
Ah, kalau begitu kapan manusia pintar??
Diposting oleh Mesba Label:

Setiap orang, bahkan diri kita mungkin pernah berpikir atau mengatakan,

"Saya tidak bisa melakukannya."

Atau, "Saya tidak mampu."

Pernyataan ini menggambarkan kondisi kita. Pertanyaannya, kondisi kapan? Masa lalu atau masa depan?

Tentu kita mengatakan, "Kondisi kita saat ini, bukan?." Artinya, kita tidak bisa melakukannya saat ini.

Coba kita tanyakan lagi pada diri kita, "Mengapa kita beranggapan kita tidak bisa melakukannya?"

Barangkali diri kita mengatakan, "Memang kemampuanku hanya sebatas ini."

"Kenapa hanya sebatas ini?"

"Inilah hasil belajar dan pengalaman masa lalu."

Okey, pengalaman masa lalu. Jadi, kondisi kita saat mengatakan tidak bisa adalah karena hasil pengalaman masa lalu. Masa lalu dimulai dari detik ini terus ditarik kebelakang.

Coba kita bertanya pada diri kita masing-masing, "Jika kita berusaha lebih giat lagi, adakah perubahan yang akan terjadi kedepan?"

"Mungkin." Mungkin adalah jawaban yang tepat. Sebab kita tidak bisa menebak arah masa depan.

Benar sekali, saat kita mengatakan "Mungkin," berarti ini merupakan starting point bagi kita untuk melakukan perubahan. Setidaknya jawaban mungkin lebih baik ketimbang tidak bisa. Kata mungkin mengindikasikan adanya sebuah harapan, sementara tidak bisa hanya memupus harapan.

Banyak orang yang frustasi saat mereka gagal meraih sesuatu yang diimpikan, lalu ia mengatakan saya tidak bisa melakukannya. Saya heran terhadap orang dewasa, mengapa mereka lebih cepat berfrustasi? Padahal, seharusnya akal orang dewasa lebih matang dan mampu berpikir bijak. Kegagalan adalah hal biasa, namun jangan sampai kegagalan itu memupus harapan kita untuk bangkit. Barangkali, saat seseorang mengalami kegagalan itu berarti memang waktunya belum tepat baginya. Segala yang ada di dunia ini diciptakan melalui proses. Semua ada tahapannya. Al-Qur`an memberitahu kita bahwa Allah swt. menciptakan langit dan bumi dalam jangka enam hari. Mengapa demikian? Bukankah Allah swt. kuasa menciptakan keduanya dalam waktu sekejap? Itu artinya, Allah telah mengajarkan kepada hamba-Nya suatu proses. Hidup kita adalah saat ini dan untuk masa depan, bukan masa lalu. Buang jauh-jauh kata "tidak bisa" dalam kamus hidup kita. Semuanya bisa berubah jika mau berusaha dan tidak pantang menyerah. Kita semuanya pun pernah berhasil membuktikannya sewaktu kita kecil dulu saat kita belajar berjalan. Untuk bisa berjalan, bayi membutuhkan proses, dimulai dari merangkak. Bayangkan, andaikata saat itu kita terjatuh lalu frustasi tidak mau lagi belajar berjalan, maka sampai saat ini pun kita tidak akan bisa berjalan.

Diposting oleh Mesba Label:

Beberapa saat yang lalu, entah karena ada dorongan apa, tiba-tiba saja saya mengambil buku Remembrance waktu SMA dulu. Ah, mungkin itu karena saya terlalu sulit melupakan momen-momen indah yang terjalin selama 3 tahun di asrama dulu kali. Saya kemudian mulai membuka satu persatu lembaran-lembaran buku yang kelihatan lusuh berdebu, sembari mengamati wajah-wajah mereka yang masih lugu-lugu berikut pesan, kesan, dan motto hidup mereka. Ada kata menarik yang saya temukan dalam motto hidup salah satu teman saya. Tidak ada makan siang yang gratis, atau "no free lunch," kira-kira begitu bahasa inggrisnya. Saya tertarik memahami maksud yang tersirat di balik kata-kata yang ditulis temen saya itu. Benar sekali, tidak ada makan siang yang gratis. Ini menandakan untuk mendapatkan makanan pun juga diperlukan sebuah usaha keras dan bersusah payah. Hidup ini tidak akan pernah terlepas dengan yang namanya susah payah. Sebab, susah payah sendiri merupakan kodrat dari diciptakannya manusia. Jadi, sangat mustahil apabila manusia tidak bergesekan dengan susah payah. Bukankah dalam al-Qur`an Allah swt. telah berfirman,

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan susah payah." (QS. Al-Balad: 4)

Susah payah itu sudah menjadi kodrat kehidupan manusia. Hidup ini selalu dijalani dengan susah payah, semua perlu usaha. Tidak ada yang gratis, semua perlu kerja, semua perlu usaha, dan semua butuh usaha keras. Jika memang demikian adanya, tidak ada gunanya kita berkeluh kesah. Sebab, keluh kesah hanya akan membiasakan diri kita terpuruk dalam berkeluh kesah selamanya.

Menjadi orang kaya itu susah, menjadi orang miskin juga susah. Sama-sama susahnya mendingan milih menjadi orang kaya. Mengerjakan ketaatan itu susah, melakukan maksiyat pun demikian pula susah. Sama-sama susahnya mendingan milih melakukan ketaatan. Menjadi orang pintar pun harus bersusah payah, orang yang bodoh pun juga merasakan susah payah. Sama-sama merasakan susah payah, mendingan kita menjadi orang yang pintar. Apapun yang kita lakukan di dunia ini pasti disertai dengan susah payah. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bertindak, bergerak, dan beramal.

Seringkali seseorang enggan berdakwah karena alasan dakwah itu susah payah. Seringkali seseorang enggan beramal dan mengerjakan kebajikan dengan alasan mengerjakan kebajikan itu susah. Kalau begitu, apakah jika kita tidak berdakwah atau tidak mau beramal berarti kita tidak merasakan kesusahan? Jangan tergesa-gesa Anda mengatakan, "Ya." Orang yang bermalas-malasan pun juga merasakan kesusahan. Orang yang hendak mencuri, melakukan kejahatan, pun mereka juga merasakan kesusahan. Sama-sama merasakan kesusahan namun hasilnya berbeda. Orang yang bersusah payah untuk mencari kenikmatan akhirat tentu hasil yang diraihnya pun kelak akan berbeda dengan orang yang hanya bersusah payah untuk mencari kenikmatan dunia saja. Sebagai orang yang berakal, pastinya kita bisa mengambil sikap yang bijak dalam menanggapi kedua hal di atas. Dan yang perlu diingat, orang yang bermalas-malasan sebenarnya ia sendiri itu malas untuk berpindah dari kesusahan yang dirasakanya menuju kesusahan lainnya (kesusahan untuk tidak bermalas-malasan). Tapi tunggu dulu, apa pun bentuk kesusahan yang kita rasakan, jika itu disertai dengan niatan lillahi ta'ala, niscaya Allah akan memudahkan setiap langkah-langkah kita. Tetap berjuang, jangan mengeluh di saat-saat kesempitan mendatangi diri kita, dan teruslah melakukan sesuatu yang berguna untuk akhirat kelak.
Diposting oleh Mesba Label:

hadapi dengan senyuman
semua
yang terjadi biar terjadi
hadapi dengan tenang jiwa
semua kan baik-baik saja

bila ketetapan Tuhan
sudah ditetapkan, tetaplah sudah
tak ada yang bisa merubah
dan takkan bisa berubah

relakanlah saja ini
bahwa semua yang terbaik
terbaik untuk kita semua
menyerahlah untuk menang

Kutipan tulisan di atas merupakan salah satu lirik lagu Dewa yang terdapat dalam album Laskar Cinta. Entah sejak kapan saya mulai menyukai lirik-liriknya dewa. Kalau dahulu lirik-lirik dewa lebih terpangaruh oleh karya-karya Kahlil Gibran, maka pada album Laskar Cinta ini, lirik-lirik dewa lebih kental dengan nuansa sufistiknya terlebih lagi terinspirasi dari sair-sairnya Jalaluddin Rumi, salah satu tokoh sufistik yang saya kagumi.

Bagiku, lirik di atas memiliki makna yang sangat dalam. Setidaknya, ia bisa menjadi motivasi bagi orang-orang yang dilanda kesedihan. Entah itu karena kehilangan orang yang sangat dicintai, gagal dalam mencapai cita-citanya, maupun kejadian-kejadian yang tidak enak yang sedang menimpanya. Setelah mencermati lirik di atas, saya teringat dengan firman Allah dalam Al-Qur'an yang berbunyi,

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demekian itu mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadîd: 22)

Segala sesuatu yang ada di bumi telah ditetapkan oleh Allah. Bencana, musibah, kecelakan, kematian semuanya telah digariskan oleh Allah. Jika memang sudah menjadi kehendak Allah, kita bisa apa? Kita hanyalah manusia. Manusia lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan takdir sang Raja manusia.

Saya teringat dengan sebuah kisah nyata yang ditulis Dr. Aidh al-Qarni dalam bukunya La Tahzan, beliau menceritakan sebuah kisah berikut ini.

"Ada seorang pemuda Damaskus yang sudah memesan tiket pesawat untuk bepergian ke luar kota. Ia memberitahukan kepada ibunya bahwa pesawat akan take off jam sekian, dan sang ibu harus membangunkannya jika waktunya sudah dekat. Kemudian pemuda ini tidur. Namun, ibunya mendengar tentang keadaan cuaca udara di TV yang memberitakan bahwa angin sangat kencang, cuaca udara sangat buruk dan di sana ada badai pasir yang mengamuk. Maka ibu tadi khawatir dan dicekam rasa takut atas keselamatan anaknya nanti. Oleh kerena itu, sang ibu tidak membangunkan anaknya demi keselamatannya dalam perjalanan. Sebab, cuaca tidak memungkinkan untuk bepergian serta takut bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ketika sang ibu yakin bahwa pesawatnya sudah take off, ia pun bergegas membangunkan anaknya. Namun, sang ibu mendapati anaknya sudah meninggal di atas kasurnya."

Inilah ajal. Jika ia telah menjadi ketentuan Allah, apa pun usaha yang akan dilaukan manusia tak akan sedikit pun bisa merubahnya. Kita tidak bisa menghindar dari berbagai bencana yang sudah direncanakan Allah, kita tidak bisa lari dari ketentuan-Nya, tidak bisa melawan-Nya dan yang kita bisa hanya menerimanya.

Saya katakan tadi bahwa kita hanya bisa menerima. Menerima di sini bukan asal "nrimo", tetapi menyadari dan meyakini bahwa semua itu memang sudah kehendak Allah. Dialah yang Kuasa menetepkan segala sesuatunya pada diri kita. Menerima di sini maksudya adalah mengembalikannya kepada Allah. Sebab, sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali lagi kepada Allah.

Jika kita sudah beriman dengan ketentuan Allah, maka kita tak perlu lai larut dalam kesedihan, penyesalan dan menyalahkan diri kita sendiri. Jika sudah demikian, kita akan tenang dalam menghadapi sesuatu, hidup dengan semangat, penuh optimisme, dan andaikan kita tidak bisa meraih apa yang kita inginkan, kita akan tetap tersenyum karena itu sudah bagian dari ketentuan Allah. Tetaplah tersenyum, meski dalam kesedihan dan yakinlah bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua.

* dedicated to Miftah Fawaid, jangan larut dalam kesedihan, tetap tatap masa depan. Perjalanan hidup masih panjang, berikan selalu yang terbaik untuk Ibumu.

Diposting oleh Mesba Label:
Adakah yang lebih nikmat dari dekat dengan Allah, dicintai Allah, dan melakukan semua aktifitas hanya untuk Allah?
Bukankah Allah telah berfirman, "Bila ia mendekat kepadaku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari..."
Mengapa kita masih mencari yang lain?
Dia, Dia, hanya Dia "Huwa" yang tak terkata, tak terasa, tak tercipta, tak terperi walau oleh calung asmara.

Thanks to : Sinbad Caesar atas pencerahanya.
Diposting oleh Mesba Label:
"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka seseungguhnya azab-Ku sangat pedih.'"

Adalah sifat manusia apabila ia kehilangan sesuatu, atau tidak mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, atau saat mengalami kerugian, kebanyakan jiwa mereka terguncang. Akibatnya, mereka tak lagi memiliki gairah hidup atau tidak memiliki semangat untuk tetap berjuang menyelami kehidupan. Manusia seringkali lupa untuk mensyukuri nikmat yang dimilikinya serta tidak merenungi nikmat di balik kegagalan yang sedang dialaminya.

Allah Mahatahu atas segalanya, baik yang lalu, sekarang, maupun yang akan datang. Dia tahu betul apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sehingga, kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa sesungguhnya yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya adalah sesuatu yang dibutuhkannya, bukan yang diinginkannya.

Ayat di atas secara tidak langsung telah memberikan rahasia kepada kita agar hidup kian terasa damai dan tentram. Orang yang senantiasa bersyukur, ia tak akan pernah sedikit pun merasakan kegundahan dalam kehidupannya. Kendati pun ia miskin, serba kekurangan dalam hidupnya, namun apabila tetap bersyukur tentu hatinya tak akan pernah diliputi oleh kegalauhan ataupun kegundahan. Orang yang bersyukur senantiasa berprasangka baik terhadap segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah baginya. Ia selalu berpikir bahwa Allah senantiasa sayang kepadanya. Sebab, menurutnya, Allah mengetahui kadar kekuatan yang dimilikinya apabila ia diberikan harta melimpah ia pasti akan melupakan-Nya dan cendrung lebih banyak melakukan kemaksiyatan. Karena itu, yang terbaik bagi hamba tersebut adalah tetap dijadikannya miskin agar senantiasa lebih banyak mengingat Allah. Lain halnya dengan orang yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang telah diperolehnya. Ia tidak akan pernah merasakan kedaimaian hidup. Yang ada hanyalah perasaan serba kekurangan dan terus menerus tamak mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Bahkan, ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan segala yang diinginkannya meski dengan jalan yang tidak halal. Dan inilah salah satu rahasia nikmatnya bersyukur atas nikmat Allah.

Jika kita mencermati lagi ayat di atas maka akan kita dapati bahwa apabila kita mau bersyukur kepada Allah, niscaya Dia akan menambahkan nikmat kepada kita. Karena itu, kita seharusnya mensyukuri yang ada, mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan, meskipun menurut pandangan lahiriyah kita itu sedikit. Nikmat yang sedikit apabila kita terus bersyukur tentu Allah akan menambahkannya. Inilah janji Allah kepada kita. Dan sungguh sangat ironis, apabila nikmat yang sedkit itu tidak disyukuri. Sudah sedikit, tidak mau bersyukur pula. Alangkah bodohnya orang yang tidak pernah bersyukur kepada Allah.

Kebanyakan manusia memandang bahwa yang namanya nikmat itu adalah berupa materi yang banyak atau lebih idektik dengan rizki yang melimpah. Pandangan yang seperti ini adalah salah kaprah. Nikmat Allah itu tidak terbatas pada materi saja. Namun, lebih dari hal itu. Sebenarnya, apabila manusia mau merenung sebentar saja, tentu ia sadar betapa banyak nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya, dan apabila ia hendak menyebutkannya, pasti ia tidak akan bisa. Allah swt. berfirman,

"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala yang kamu mohon kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung satu nikmat Allah saja, tidaklah kamu dapat menghitungnya..."
(QS. Ibrahim: 34)

Sejenak kita perhatikan lagi diksi yang dipakai Allah dalam ayat di atas. Jika kita membuka al-Quran surat Ibrahim ayat 34, maka disitu sebutkan kata ni'mat (bentuk tunggal = satu nikmat) bukan ni'am (bentuk plural = nikmat-nikmat yang banyak), sebab dalam satu nikmat saja terdapat nikmat-nikmat yang tak terhitung, bahkan dalam musibah pun terdapat nikmat yang banyak. Karena itu, nikmatilah hidupmu, tetap bersyukurlah atas apa yang ada pada dirimu. Niscaya kedamaian dan ketentraman akan selalu menaungimu. Sebab, kebahagian dan ketentraman jiwa atau kegelisaan dan kegundahan hati sebenarnya kita sendirilah yang membuatnya. Bukan alam, bukan orang lain, atau pun kejadian.
Diposting oleh Mesba Label:

Anugerah Allah swt. memang sungguh luar biasa. Tak henti-hentinya aku memanjatkan puji dan syukur kepada-Mu, ya Rabb. Dan memang seharusnya puji dan syukur selalu terpanjat untuk-Mu. Sebab, semua pujian hanya milik-Mu semata. Ah, entah mimpi apa aku dulu hingga aku bisa diperkenankan menginjakkan kakiku di negeri sebiru khayalan ini. Benar, negeri sebiru khayalan. Bagiku Mesir adalah negeri seribu khayalan. Karena banyak sekali kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan yang aku temukan di sini. Kalau sebagian Masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) ada yang mencerca dan mengeluhkan kehidupan di Mesir, itu wajar-wajar saja. Alasan mereka juga logis; banyak antrianlah, birokrasi yang nggak jelaslah, masyarakatnya egoislah, banyak kejahatanlah, dan lain sebagainya yang semua itu bisa membuat hati seseorang menjadi jengkel. Namun, di balik itu semua aku menemukan sisi-sisi unik dan menakjubkan di negeri ini. Sisi sisi janggal yang belum pernah aku dapatkan maupun aku dengar di negeri lainnya, bahkan di negeriku sendiri.

Seperti biasa, di sela-sela kesibukanku dengan naskah-naskah maupun buku-buku yang menumpuk, aku masih menyempatkan diriku untuk menimba ilmu. Tempatnya seperti biasa, di masjid Al-Azhar. Masjid kuno yang kental dengan nuansa sejarahnya. Aku menganggapnya sebagai rumahku yang kedua. Karena hampir setiap harinya aku di sini, baik untuk sekedar melepas lelah, belajar diktat, maupun mengikuti pengajian bersama masyayikh al-Azhar. Meski jarak masjid itu dengan rumah kontrakanku bisa dibilang sangat jauh ditambah lagi udara kairo yang tidak begitu bersahabat, namun itu tak menghalangi niatku untuk terus menuntut ilmu.

Beberapa hari yang lalu, seperti biasanya sehabis shalat Dhuhur di masjid Al-Azhar seringkali diadakan ceramah agama. Saat itu yang bertugas mengisi ceramah tersebut adalah Syeikh Musthafa Mahmud, seorang imam sekaligus khatib masjid Sulthan. Baliau adalah seorang yang alim dan tawadhu'. Ceramah yang disampaikannya pun sangat menarik dan menyentuh hati. Saat itu aku hanya bisa mengikuti ceramahnya beberapa menit saja. Sebab, di saat yang bersamaan pula aku mempunyai jadwal ngaji lesehan (talaqqi) al-Fiyyah ibnu Malik bersama DR. Fathi Hijazi, dosen bahasa Arab fakultas bahasa dan sastera Arab Universitas Al-Azhar. Kami beserta teman-teman lainnya yang berasal dari berbagai negara langsung membuat suatu halaqah (lingkaran) di pojok masjid Al-Azhar, sembari menunggu kehadiran DR. Fathi yang kebetulan beliau masih ada kesibukan di kuliah. Disaat kami sedang menunggu kehadiran guru kami tersebut, tiba-tiba muncul sosok laki-laki separuh baya memakai pakaian serba putih berjalan menuju halaqah kami. Aku tidak menyangka sebelumnya, ternyata laki-laki tersebut adalah Syeikh Musthafa, imam agung sekaligus khatib masjid Sulthan yang baru saja mengisi ceramah di masjid Al-Azhar. Tanpa basi-basi beliau langsung berbaur dengan kami. Beliau duduk lesehan seperti halnya para santri lainnya. Sungguh menakjubkan. Saat itu air mataku tak sempat aku bendung. Hanya kekaguman yang terus menerus menyelimuti diriku saat melihat sosok alim dan tawadhu' itu. Statusnya sebagai imam sekaligus khatib di masjid Sulthan, ditambah lagi sebagai penceramah di masjid Al-Azhar, tentu keilmuan beliau tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, pihak Al-Azhar tentunya tidak sembarangan memilih seseorang untuk mengisi ceramah di masjid itu. Meski demikian, semua itu tidak menghalangi niat beliau untuk tetap menuntut ilmu lagi. Ditambah lagi sikap tawadhu' beliau yang rela duduk-duduk lesehan bersama kami menunggu bersama kehadiran seorang syeikh yang akan mengajarkan ilmu kepada kami meski hanya untuk mendapatkan sedikit ilmu saja yang akan disampaikan. Dalam hati aku pun bertanya pada diriku sendiri, "Masih adakah sosok-sosok seseorang seperti beliau di negeriku? Orang yang alim dan tidak malu-malu untuk ikut duduk-duduk lesehan mendengarkan dars dari Syeikh (orang pintar) lainya. Ah, kalaupun ada pasti mereka lebih memilih berada di tempat yang khusus dan tidak mau duduk lesehan.

Aku bersyukur sebab tanpa disengaja aku telah diajarkan bagaiamana seorang pencari ilmu harus bersikap tawadhu'. Mungkin benar filosofi padi, semakin tua padi itu, maka semakin pula ia merunduk. Semakin banyak ilmu yang didapatkan oleh seseorang, maka ia semakin rendah hati. Mengapa bisa demikian? Sebab, semakin banyak seseorang mengetahui sesuatu, sebenernya ia akan semakin tahu betapa bodohnya dia di hadapan luasnya ilmu Tuhannya. Maka, tak heran jika ulama sekaliber Ibnu Athaillah as-Sakandary, dalam munajatnya seringkali beliau mengatakan,

Tuhanku, aku bodoh dalam tahuku,

Apatah lagi dalam bodohku?
Diposting oleh Mesba Label:
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates