Ayahku pernah bilang,
"Sing penting pinter ndisik, liyane dipikir keri."
(Yang penting pintar dulu, urusan yang lain dipikirkan kemudian)
Kapan manusia bisa pintar??
Ketika manusia merasa sudah pintar
Sebenarnya dia sedang mengidap virus kebodohan
Sebaliknya, semakin banyak membaca, manusia semakin tersadar bahwa dirinya bodoh
Ah, kalau begitu kapan manusia pintar??
Diposting oleh Mesba Label:

Setiap orang, bahkan diri kita mungkin pernah berpikir atau mengatakan,

"Saya tidak bisa melakukannya."

Atau, "Saya tidak mampu."

Pernyataan ini menggambarkan kondisi kita. Pertanyaannya, kondisi kapan? Masa lalu atau masa depan?

Tentu kita mengatakan, "Kondisi kita saat ini, bukan?." Artinya, kita tidak bisa melakukannya saat ini.

Coba kita tanyakan lagi pada diri kita, "Mengapa kita beranggapan kita tidak bisa melakukannya?"

Barangkali diri kita mengatakan, "Memang kemampuanku hanya sebatas ini."

"Kenapa hanya sebatas ini?"

"Inilah hasil belajar dan pengalaman masa lalu."

Okey, pengalaman masa lalu. Jadi, kondisi kita saat mengatakan tidak bisa adalah karena hasil pengalaman masa lalu. Masa lalu dimulai dari detik ini terus ditarik kebelakang.

Coba kita bertanya pada diri kita masing-masing, "Jika kita berusaha lebih giat lagi, adakah perubahan yang akan terjadi kedepan?"

"Mungkin." Mungkin adalah jawaban yang tepat. Sebab kita tidak bisa menebak arah masa depan.

Benar sekali, saat kita mengatakan "Mungkin," berarti ini merupakan starting point bagi kita untuk melakukan perubahan. Setidaknya jawaban mungkin lebih baik ketimbang tidak bisa. Kata mungkin mengindikasikan adanya sebuah harapan, sementara tidak bisa hanya memupus harapan.

Banyak orang yang frustasi saat mereka gagal meraih sesuatu yang diimpikan, lalu ia mengatakan saya tidak bisa melakukannya. Saya heran terhadap orang dewasa, mengapa mereka lebih cepat berfrustasi? Padahal, seharusnya akal orang dewasa lebih matang dan mampu berpikir bijak. Kegagalan adalah hal biasa, namun jangan sampai kegagalan itu memupus harapan kita untuk bangkit. Barangkali, saat seseorang mengalami kegagalan itu berarti memang waktunya belum tepat baginya. Segala yang ada di dunia ini diciptakan melalui proses. Semua ada tahapannya. Al-Qur`an memberitahu kita bahwa Allah swt. menciptakan langit dan bumi dalam jangka enam hari. Mengapa demikian? Bukankah Allah swt. kuasa menciptakan keduanya dalam waktu sekejap? Itu artinya, Allah telah mengajarkan kepada hamba-Nya suatu proses. Hidup kita adalah saat ini dan untuk masa depan, bukan masa lalu. Buang jauh-jauh kata "tidak bisa" dalam kamus hidup kita. Semuanya bisa berubah jika mau berusaha dan tidak pantang menyerah. Kita semuanya pun pernah berhasil membuktikannya sewaktu kita kecil dulu saat kita belajar berjalan. Untuk bisa berjalan, bayi membutuhkan proses, dimulai dari merangkak. Bayangkan, andaikata saat itu kita terjatuh lalu frustasi tidak mau lagi belajar berjalan, maka sampai saat ini pun kita tidak akan bisa berjalan.

Diposting oleh Mesba Label:

Beberapa saat yang lalu, entah karena ada dorongan apa, tiba-tiba saja saya mengambil buku Remembrance waktu SMA dulu. Ah, mungkin itu karena saya terlalu sulit melupakan momen-momen indah yang terjalin selama 3 tahun di asrama dulu kali. Saya kemudian mulai membuka satu persatu lembaran-lembaran buku yang kelihatan lusuh berdebu, sembari mengamati wajah-wajah mereka yang masih lugu-lugu berikut pesan, kesan, dan motto hidup mereka. Ada kata menarik yang saya temukan dalam motto hidup salah satu teman saya. Tidak ada makan siang yang gratis, atau "no free lunch," kira-kira begitu bahasa inggrisnya. Saya tertarik memahami maksud yang tersirat di balik kata-kata yang ditulis temen saya itu. Benar sekali, tidak ada makan siang yang gratis. Ini menandakan untuk mendapatkan makanan pun juga diperlukan sebuah usaha keras dan bersusah payah. Hidup ini tidak akan pernah terlepas dengan yang namanya susah payah. Sebab, susah payah sendiri merupakan kodrat dari diciptakannya manusia. Jadi, sangat mustahil apabila manusia tidak bergesekan dengan susah payah. Bukankah dalam al-Qur`an Allah swt. telah berfirman,

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan susah payah." (QS. Al-Balad: 4)

Susah payah itu sudah menjadi kodrat kehidupan manusia. Hidup ini selalu dijalani dengan susah payah, semua perlu usaha. Tidak ada yang gratis, semua perlu kerja, semua perlu usaha, dan semua butuh usaha keras. Jika memang demikian adanya, tidak ada gunanya kita berkeluh kesah. Sebab, keluh kesah hanya akan membiasakan diri kita terpuruk dalam berkeluh kesah selamanya.

Menjadi orang kaya itu susah, menjadi orang miskin juga susah. Sama-sama susahnya mendingan milih menjadi orang kaya. Mengerjakan ketaatan itu susah, melakukan maksiyat pun demikian pula susah. Sama-sama susahnya mendingan milih melakukan ketaatan. Menjadi orang pintar pun harus bersusah payah, orang yang bodoh pun juga merasakan susah payah. Sama-sama merasakan susah payah, mendingan kita menjadi orang yang pintar. Apapun yang kita lakukan di dunia ini pasti disertai dengan susah payah. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bertindak, bergerak, dan beramal.

Seringkali seseorang enggan berdakwah karena alasan dakwah itu susah payah. Seringkali seseorang enggan beramal dan mengerjakan kebajikan dengan alasan mengerjakan kebajikan itu susah. Kalau begitu, apakah jika kita tidak berdakwah atau tidak mau beramal berarti kita tidak merasakan kesusahan? Jangan tergesa-gesa Anda mengatakan, "Ya." Orang yang bermalas-malasan pun juga merasakan kesusahan. Orang yang hendak mencuri, melakukan kejahatan, pun mereka juga merasakan kesusahan. Sama-sama merasakan kesusahan namun hasilnya berbeda. Orang yang bersusah payah untuk mencari kenikmatan akhirat tentu hasil yang diraihnya pun kelak akan berbeda dengan orang yang hanya bersusah payah untuk mencari kenikmatan dunia saja. Sebagai orang yang berakal, pastinya kita bisa mengambil sikap yang bijak dalam menanggapi kedua hal di atas. Dan yang perlu diingat, orang yang bermalas-malasan sebenarnya ia sendiri itu malas untuk berpindah dari kesusahan yang dirasakanya menuju kesusahan lainnya (kesusahan untuk tidak bermalas-malasan). Tapi tunggu dulu, apa pun bentuk kesusahan yang kita rasakan, jika itu disertai dengan niatan lillahi ta'ala, niscaya Allah akan memudahkan setiap langkah-langkah kita. Tetap berjuang, jangan mengeluh di saat-saat kesempitan mendatangi diri kita, dan teruslah melakukan sesuatu yang berguna untuk akhirat kelak.
Diposting oleh Mesba Label:

hadapi dengan senyuman
semua
yang terjadi biar terjadi
hadapi dengan tenang jiwa
semua kan baik-baik saja

bila ketetapan Tuhan
sudah ditetapkan, tetaplah sudah
tak ada yang bisa merubah
dan takkan bisa berubah

relakanlah saja ini
bahwa semua yang terbaik
terbaik untuk kita semua
menyerahlah untuk menang

Kutipan tulisan di atas merupakan salah satu lirik lagu Dewa yang terdapat dalam album Laskar Cinta. Entah sejak kapan saya mulai menyukai lirik-liriknya dewa. Kalau dahulu lirik-lirik dewa lebih terpangaruh oleh karya-karya Kahlil Gibran, maka pada album Laskar Cinta ini, lirik-lirik dewa lebih kental dengan nuansa sufistiknya terlebih lagi terinspirasi dari sair-sairnya Jalaluddin Rumi, salah satu tokoh sufistik yang saya kagumi.

Bagiku, lirik di atas memiliki makna yang sangat dalam. Setidaknya, ia bisa menjadi motivasi bagi orang-orang yang dilanda kesedihan. Entah itu karena kehilangan orang yang sangat dicintai, gagal dalam mencapai cita-citanya, maupun kejadian-kejadian yang tidak enak yang sedang menimpanya. Setelah mencermati lirik di atas, saya teringat dengan firman Allah dalam Al-Qur'an yang berbunyi,

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demekian itu mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadîd: 22)

Segala sesuatu yang ada di bumi telah ditetapkan oleh Allah. Bencana, musibah, kecelakan, kematian semuanya telah digariskan oleh Allah. Jika memang sudah menjadi kehendak Allah, kita bisa apa? Kita hanyalah manusia. Manusia lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan takdir sang Raja manusia.

Saya teringat dengan sebuah kisah nyata yang ditulis Dr. Aidh al-Qarni dalam bukunya La Tahzan, beliau menceritakan sebuah kisah berikut ini.

"Ada seorang pemuda Damaskus yang sudah memesan tiket pesawat untuk bepergian ke luar kota. Ia memberitahukan kepada ibunya bahwa pesawat akan take off jam sekian, dan sang ibu harus membangunkannya jika waktunya sudah dekat. Kemudian pemuda ini tidur. Namun, ibunya mendengar tentang keadaan cuaca udara di TV yang memberitakan bahwa angin sangat kencang, cuaca udara sangat buruk dan di sana ada badai pasir yang mengamuk. Maka ibu tadi khawatir dan dicekam rasa takut atas keselamatan anaknya nanti. Oleh kerena itu, sang ibu tidak membangunkan anaknya demi keselamatannya dalam perjalanan. Sebab, cuaca tidak memungkinkan untuk bepergian serta takut bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ketika sang ibu yakin bahwa pesawatnya sudah take off, ia pun bergegas membangunkan anaknya. Namun, sang ibu mendapati anaknya sudah meninggal di atas kasurnya."

Inilah ajal. Jika ia telah menjadi ketentuan Allah, apa pun usaha yang akan dilaukan manusia tak akan sedikit pun bisa merubahnya. Kita tidak bisa menghindar dari berbagai bencana yang sudah direncanakan Allah, kita tidak bisa lari dari ketentuan-Nya, tidak bisa melawan-Nya dan yang kita bisa hanya menerimanya.

Saya katakan tadi bahwa kita hanya bisa menerima. Menerima di sini bukan asal "nrimo", tetapi menyadari dan meyakini bahwa semua itu memang sudah kehendak Allah. Dialah yang Kuasa menetepkan segala sesuatunya pada diri kita. Menerima di sini maksudya adalah mengembalikannya kepada Allah. Sebab, sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali lagi kepada Allah.

Jika kita sudah beriman dengan ketentuan Allah, maka kita tak perlu lai larut dalam kesedihan, penyesalan dan menyalahkan diri kita sendiri. Jika sudah demikian, kita akan tenang dalam menghadapi sesuatu, hidup dengan semangat, penuh optimisme, dan andaikan kita tidak bisa meraih apa yang kita inginkan, kita akan tetap tersenyum karena itu sudah bagian dari ketentuan Allah. Tetaplah tersenyum, meski dalam kesedihan dan yakinlah bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua.

* dedicated to Miftah Fawaid, jangan larut dalam kesedihan, tetap tatap masa depan. Perjalanan hidup masih panjang, berikan selalu yang terbaik untuk Ibumu.

Diposting oleh Mesba Label:
Adakah yang lebih nikmat dari dekat dengan Allah, dicintai Allah, dan melakukan semua aktifitas hanya untuk Allah?
Bukankah Allah telah berfirman, "Bila ia mendekat kepadaku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari..."
Mengapa kita masih mencari yang lain?
Dia, Dia, hanya Dia "Huwa" yang tak terkata, tak terasa, tak tercipta, tak terperi walau oleh calung asmara.

Thanks to : Sinbad Caesar atas pencerahanya.
Diposting oleh Mesba Label:
"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka seseungguhnya azab-Ku sangat pedih.'"

Adalah sifat manusia apabila ia kehilangan sesuatu, atau tidak mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, atau saat mengalami kerugian, kebanyakan jiwa mereka terguncang. Akibatnya, mereka tak lagi memiliki gairah hidup atau tidak memiliki semangat untuk tetap berjuang menyelami kehidupan. Manusia seringkali lupa untuk mensyukuri nikmat yang dimilikinya serta tidak merenungi nikmat di balik kegagalan yang sedang dialaminya.

Allah Mahatahu atas segalanya, baik yang lalu, sekarang, maupun yang akan datang. Dia tahu betul apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sehingga, kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa sesungguhnya yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya adalah sesuatu yang dibutuhkannya, bukan yang diinginkannya.

Ayat di atas secara tidak langsung telah memberikan rahasia kepada kita agar hidup kian terasa damai dan tentram. Orang yang senantiasa bersyukur, ia tak akan pernah sedikit pun merasakan kegundahan dalam kehidupannya. Kendati pun ia miskin, serba kekurangan dalam hidupnya, namun apabila tetap bersyukur tentu hatinya tak akan pernah diliputi oleh kegalauhan ataupun kegundahan. Orang yang bersyukur senantiasa berprasangka baik terhadap segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah baginya. Ia selalu berpikir bahwa Allah senantiasa sayang kepadanya. Sebab, menurutnya, Allah mengetahui kadar kekuatan yang dimilikinya apabila ia diberikan harta melimpah ia pasti akan melupakan-Nya dan cendrung lebih banyak melakukan kemaksiyatan. Karena itu, yang terbaik bagi hamba tersebut adalah tetap dijadikannya miskin agar senantiasa lebih banyak mengingat Allah. Lain halnya dengan orang yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang telah diperolehnya. Ia tidak akan pernah merasakan kedaimaian hidup. Yang ada hanyalah perasaan serba kekurangan dan terus menerus tamak mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Bahkan, ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan segala yang diinginkannya meski dengan jalan yang tidak halal. Dan inilah salah satu rahasia nikmatnya bersyukur atas nikmat Allah.

Jika kita mencermati lagi ayat di atas maka akan kita dapati bahwa apabila kita mau bersyukur kepada Allah, niscaya Dia akan menambahkan nikmat kepada kita. Karena itu, kita seharusnya mensyukuri yang ada, mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan, meskipun menurut pandangan lahiriyah kita itu sedikit. Nikmat yang sedikit apabila kita terus bersyukur tentu Allah akan menambahkannya. Inilah janji Allah kepada kita. Dan sungguh sangat ironis, apabila nikmat yang sedkit itu tidak disyukuri. Sudah sedikit, tidak mau bersyukur pula. Alangkah bodohnya orang yang tidak pernah bersyukur kepada Allah.

Kebanyakan manusia memandang bahwa yang namanya nikmat itu adalah berupa materi yang banyak atau lebih idektik dengan rizki yang melimpah. Pandangan yang seperti ini adalah salah kaprah. Nikmat Allah itu tidak terbatas pada materi saja. Namun, lebih dari hal itu. Sebenarnya, apabila manusia mau merenung sebentar saja, tentu ia sadar betapa banyak nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya, dan apabila ia hendak menyebutkannya, pasti ia tidak akan bisa. Allah swt. berfirman,

"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala yang kamu mohon kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung satu nikmat Allah saja, tidaklah kamu dapat menghitungnya..."
(QS. Ibrahim: 34)

Sejenak kita perhatikan lagi diksi yang dipakai Allah dalam ayat di atas. Jika kita membuka al-Quran surat Ibrahim ayat 34, maka disitu sebutkan kata ni'mat (bentuk tunggal = satu nikmat) bukan ni'am (bentuk plural = nikmat-nikmat yang banyak), sebab dalam satu nikmat saja terdapat nikmat-nikmat yang tak terhitung, bahkan dalam musibah pun terdapat nikmat yang banyak. Karena itu, nikmatilah hidupmu, tetap bersyukurlah atas apa yang ada pada dirimu. Niscaya kedamaian dan ketentraman akan selalu menaungimu. Sebab, kebahagian dan ketentraman jiwa atau kegelisaan dan kegundahan hati sebenarnya kita sendirilah yang membuatnya. Bukan alam, bukan orang lain, atau pun kejadian.
Diposting oleh Mesba Label:

Anugerah Allah swt. memang sungguh luar biasa. Tak henti-hentinya aku memanjatkan puji dan syukur kepada-Mu, ya Rabb. Dan memang seharusnya puji dan syukur selalu terpanjat untuk-Mu. Sebab, semua pujian hanya milik-Mu semata. Ah, entah mimpi apa aku dulu hingga aku bisa diperkenankan menginjakkan kakiku di negeri sebiru khayalan ini. Benar, negeri sebiru khayalan. Bagiku Mesir adalah negeri seribu khayalan. Karena banyak sekali kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan yang aku temukan di sini. Kalau sebagian Masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) ada yang mencerca dan mengeluhkan kehidupan di Mesir, itu wajar-wajar saja. Alasan mereka juga logis; banyak antrianlah, birokrasi yang nggak jelaslah, masyarakatnya egoislah, banyak kejahatanlah, dan lain sebagainya yang semua itu bisa membuat hati seseorang menjadi jengkel. Namun, di balik itu semua aku menemukan sisi-sisi unik dan menakjubkan di negeri ini. Sisi sisi janggal yang belum pernah aku dapatkan maupun aku dengar di negeri lainnya, bahkan di negeriku sendiri.

Seperti biasa, di sela-sela kesibukanku dengan naskah-naskah maupun buku-buku yang menumpuk, aku masih menyempatkan diriku untuk menimba ilmu. Tempatnya seperti biasa, di masjid Al-Azhar. Masjid kuno yang kental dengan nuansa sejarahnya. Aku menganggapnya sebagai rumahku yang kedua. Karena hampir setiap harinya aku di sini, baik untuk sekedar melepas lelah, belajar diktat, maupun mengikuti pengajian bersama masyayikh al-Azhar. Meski jarak masjid itu dengan rumah kontrakanku bisa dibilang sangat jauh ditambah lagi udara kairo yang tidak begitu bersahabat, namun itu tak menghalangi niatku untuk terus menuntut ilmu.

Beberapa hari yang lalu, seperti biasanya sehabis shalat Dhuhur di masjid Al-Azhar seringkali diadakan ceramah agama. Saat itu yang bertugas mengisi ceramah tersebut adalah Syeikh Musthafa Mahmud, seorang imam sekaligus khatib masjid Sulthan. Baliau adalah seorang yang alim dan tawadhu'. Ceramah yang disampaikannya pun sangat menarik dan menyentuh hati. Saat itu aku hanya bisa mengikuti ceramahnya beberapa menit saja. Sebab, di saat yang bersamaan pula aku mempunyai jadwal ngaji lesehan (talaqqi) al-Fiyyah ibnu Malik bersama DR. Fathi Hijazi, dosen bahasa Arab fakultas bahasa dan sastera Arab Universitas Al-Azhar. Kami beserta teman-teman lainnya yang berasal dari berbagai negara langsung membuat suatu halaqah (lingkaran) di pojok masjid Al-Azhar, sembari menunggu kehadiran DR. Fathi yang kebetulan beliau masih ada kesibukan di kuliah. Disaat kami sedang menunggu kehadiran guru kami tersebut, tiba-tiba muncul sosok laki-laki separuh baya memakai pakaian serba putih berjalan menuju halaqah kami. Aku tidak menyangka sebelumnya, ternyata laki-laki tersebut adalah Syeikh Musthafa, imam agung sekaligus khatib masjid Sulthan yang baru saja mengisi ceramah di masjid Al-Azhar. Tanpa basi-basi beliau langsung berbaur dengan kami. Beliau duduk lesehan seperti halnya para santri lainnya. Sungguh menakjubkan. Saat itu air mataku tak sempat aku bendung. Hanya kekaguman yang terus menerus menyelimuti diriku saat melihat sosok alim dan tawadhu' itu. Statusnya sebagai imam sekaligus khatib di masjid Sulthan, ditambah lagi sebagai penceramah di masjid Al-Azhar, tentu keilmuan beliau tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, pihak Al-Azhar tentunya tidak sembarangan memilih seseorang untuk mengisi ceramah di masjid itu. Meski demikian, semua itu tidak menghalangi niat beliau untuk tetap menuntut ilmu lagi. Ditambah lagi sikap tawadhu' beliau yang rela duduk-duduk lesehan bersama kami menunggu bersama kehadiran seorang syeikh yang akan mengajarkan ilmu kepada kami meski hanya untuk mendapatkan sedikit ilmu saja yang akan disampaikan. Dalam hati aku pun bertanya pada diriku sendiri, "Masih adakah sosok-sosok seseorang seperti beliau di negeriku? Orang yang alim dan tidak malu-malu untuk ikut duduk-duduk lesehan mendengarkan dars dari Syeikh (orang pintar) lainya. Ah, kalaupun ada pasti mereka lebih memilih berada di tempat yang khusus dan tidak mau duduk lesehan.

Aku bersyukur sebab tanpa disengaja aku telah diajarkan bagaiamana seorang pencari ilmu harus bersikap tawadhu'. Mungkin benar filosofi padi, semakin tua padi itu, maka semakin pula ia merunduk. Semakin banyak ilmu yang didapatkan oleh seseorang, maka ia semakin rendah hati. Mengapa bisa demikian? Sebab, semakin banyak seseorang mengetahui sesuatu, sebenernya ia akan semakin tahu betapa bodohnya dia di hadapan luasnya ilmu Tuhannya. Maka, tak heran jika ulama sekaliber Ibnu Athaillah as-Sakandary, dalam munajatnya seringkali beliau mengatakan,

Tuhanku, aku bodoh dalam tahuku,

Apatah lagi dalam bodohku?
Diposting oleh Mesba Label:


Dalam keyakinan kaum muslimin, Al-Qur`an adalah firman Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran yang terkandung di dalamnya pun telah dianggap muthlak oleh seluruh kaum muslimin baik oleh muslim koneservatif maupun oleh muslim radikalnya. Meskipun demikian, dalam lingkup kesehariannya kaum musimin dirasa banyak yang kurang mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur`an. Dan yang sangat disayangkan lagi adalah pandangan sebagian kelompok yang hanya memahami Al-Qur`an sebatas mencari pahala dengan sekedar membaca ataupun menghafalnya. Hal ini bukanlah tujuan inti diturunkannya Al-Qur`an untuk manusia. Al-Qur`an sendiri telah menegaskan bahwa dirinya diturunkan Allah sebagai petunjuk sekaligus sebagai pegangan hidup yang dapat memberikan solusi atas pelbagai ketimpangan sosial yang sedang terjadi dalam kehidupan sosial. Oleh karena maksud tersebut, beberapa penafsiran telah berhasil ditelorkan oleh para ulama islam agar dapat memahamkan inti yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur`an. Sebagai hasil usaha-usaha yang dilakukan mereka, banyak kita jumpai berbagai macam kitab tafsir dengan kecenderungan berbagai paham yang diusung oleh para mufassir itu sendiri. Sebut saja tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur`an karangan Abu Abdullah al-Qurthubi yang lebih menengedepankan pembahasan fikihnya dari pada segi balaghah Al-Qur`an, mengingat beliau adalah seorang ulama ahli fikih yang bermadzhab Maliki. Oleh karenanya sebagian orang menganggap kitab tersebut bukanlah kitab tafsir melainkan kitab fikih. Begitu halnya dengan kitab Mafâtih al-Ghaib, karangan Imam Fakhruddin ar-Razi yang lebih menonjolkan sisi teologisnya hingga tidak salah jika ada orang yang mengatakan, “Segala sesutu telah aku dapatkan dalam kitab tersebut kecuali tafsir.” Melihat berbagai macan metode penafsiran yang dirasa kurang mampu untuk diterapkan oleh masa sekarang, maka mulia muncullah beberapa penafsir modern yang berusaha menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat.

Diantara para ulama kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran Al-Qur`an adalah Sayyid Qutb (1906-1966), salah seorang ulama terkemuka dikalangan Ikhwan al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an yang menjadi master-piece diantara karya-karya lain yang dihasilkannya. Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiaran sosial-kemasyarakan yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi Muslim sekarang. Oleh karena keunggulan inilah, penulis mencoba mengkaji serta melihat lebih dalam tentang sosok Sayyid Qutb, salah satu penafsir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran Al-Qur`an.

Biografi Sayyid Qutb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal Al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke sepuluh tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA). Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastera sekaligus diploma pendidikan.

Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkemabng di Amerika Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.

Dari pengalaman yang diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme.

Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang. Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat denagn perjalanan hidupnya. Sebagai contohnya, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis buku-buku sastera yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal in terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat asy-Syair fi al-Hayah” pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal ats-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939.

Pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai menerapkan unsur-unsur agama dalam di dalam karyanya. Hal itu terlihat pada karya beliau selanjutnya yang berjudul “at-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an (1945) dan Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an.

Pada tahun 1950-an, Sayyid Qutb mula membicarakan soal keadilan , kemasyarakatan dan fikrah Islam yang suci menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan ‘Fi Zilal Al-Quran’ dan ‘Dirasat Islamiah’. Semasa dalam penjara yaitu mulai dari tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus menghasilkan karya-karyanya. Diantara buku-buku yang berhasil ditulis beliua dalam penjara adalah ‘Hadza ad-Din’, ‘Al-Mustaqbal li Hadza ad-Din’, ‘Khasais at-Tasawwur al-Islami wa Muqawwimatihi’ Islam wa Musykilah al-Hadarah’ dan ‘Fi Zhilal Al-Quran’ (lanjutannya).

Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abd Nasher. Menurut sumber, sebelum dilakukan eksekusi Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb.

Kerangka Pemikiran Sayyid Qutb
Dalam kitabnya yang berjudul Sayyid Qutb: Khulâshatuhu wa Manhâju Harakatihi, Muhammad Taufiq Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap:
1. Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi islam
2. Tahap mempunyai orientasi islam secara umum
3. dan tahap pemikiran berorientasi islam militan.
Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai merasakan adanya keenggan dan rasa muak terhadap westernisme, kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan beliau aktif dalam memperjuangnkan islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir islam lainnya yang silau akan kegemilingan budaya-budaya Barat.

Dalam pandangannya, Islam adalah way of life yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat islam dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsip utama dalam agama islam, maka sudah menjadi sebuah keharusan jika Al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam Al-Quran, jika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini.

Meski tidak dipungkiri bahwa Al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad abad tahun lamanya pada zaman Rasulullah dan mengganggambarkan tentang kejadian masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash Al-Qur`an, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam Al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman. Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya Al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan terbaru dalam menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat yang kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut.

Motivasi Penulisan Tafsir Fi Zhilâl al-Qur`an
Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang sangat terkenal adalah karya tafsir Al-Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an. Dalam tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Abu A’la al Maududi.

Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran al-Quran yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang kemudian diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.

Sekilas tentang Corak Penafsiran Sayyid Qutb
Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl al-Qur`an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran al-Qur`an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-Qur`an. Termasuk diantaranya adalah melakukan Pembaruan dalam bidang penafsiran dan disatu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang diarasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetaengahkan segi sastera untuk melakukan pendekatan dalam menafsikan al-Qur`an.

Sisi sastera beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya bahkan dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman uslub al-Qur`an, karakteristik ungkapan al-Qur`an serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan Sayyid Qutb untuk memberikan pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang islam pada umumnya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya. Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan. Dan Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat bag segala penyakit. Pandangan seperti ini beliau sarikan dari firman Allah yang berbunyi, “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah. “Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus...”
Sejak pada barisan pertama dalam kitab kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan karakterisktik seni yang terdapat dalam al-Qur`an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur`an dalam mengajak masayarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnab, namun dibalik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasian irama.

Mengenai klarifikasi methodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur`an Universitas al-Azhar membagi corak dalam menafsirkan al-Quir`an menjadi tiga bentuk, yaitu tahlily, maudhu’i dan ijmâli muqarin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam jenis tafsir tahlili. Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.

Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan Al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat dalam Al-Qur`an merupakan penuturan derama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam Al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang.

Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastera, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.

Pandangan Sayyid Qutb terhadap Naskh dan Mansukh
Fenomena naskh dan mansukh dalam al-Qur`an memang telah terjadi silang pendapat dalam kalangan ulama islam sendiri. Disatu pihak ada yang menerimanya dan dipihak lain ada yang menolaknya dengan beberapa argumentasi mereka masing-masing. Dalam hal ini, Sayyid Qutb termasuk kedalam kelompok yang menerima adanya naskh dalam al-Qur`an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayat 106 surat al-Baqarah. Beliau mengemukakan bahwa pada ayat itu al-Qur`an secara umum menandaskan adannya peralihan sebagian perintah ataupun hukum seiring dengan perkembangan masayarakat muslim, dan secara khusus ayat tersebut menggambarkan tentang peralihan qiblat. Adanya pergantian sebagian ketentuan sebagian hukum adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan manusia, serta untuk merealisasikan kebaikan yang jauh lebih besar sesuai tuntutan perkmbangan masyarakat. Selain itu, Allah sebagai Sang Pencipta memang mempunyai hak prerogatif melakukan hal tersebut.
Sayyid Qutb melihat naskh dari perspektif ganda, yaitu perspektif Tuhan dan manusia. Seakan-akan dia mengatakan, terjadinya naskh merupakan kemauan Tuhan dan untuk kepentingan manusia. Selain itu, naskh juga ssuai denagn watak ajaran islam yang evolutif yang lebih mengedepankan kemashlahatan umat.

Memang diakui, naskh terkait dengan dinamika kemashlahatan manusia. Namun, tidak menjadi persoalan, mengigat kondisi masyarakat pada risalah Nabi merupakan contoh bagi perkembangan masyarakat manusia sepanjang masa. Hal ini akan bisa sesuai dengan al-Qur`an sendiri yang selalu aktual dalam menghadapi perkembangan masa. Dengan demikian gerak sejarah manusia tidak akan keluar dari dinamika masyarakat Arab pada masa Nabi. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb sendiri gambaran seluruh persoalan sejarah umat manusia telah ditemukan jawabannya dalam teks suci melalu pemahaman baku masyarakat masa risalah. Atas asumsi itulah, Sayyid Qutb disebut sebagai pemikir Fundamentalisme Islam; pemikir yang mempunyai romantisme terhadap masa lalu Islam (klasik), dan secara singkatnya dia ingin mewujudkan gambaran masyarakat masa lalu kedalam masa sekarang dan yang akan datang.

Contoh penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`an
Ayat 65 surat al-Anfâl
Banyak sekali ulama yang mengtakan bahwa ayat ini mengalami proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat bahwa dahulu perbandinagn pada saat bertempur dengan kaum kafir adalah satu banding sepuluh. Artinya, satu kaum muslimin diwajibkan menumpas sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang keringanan yang diberikan oleh Allah kepada orang islam berupa satu orang islam melawan dua oang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik. Sayyid Qutb mencoba menghadirkannya dalam zaman sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini berbicara mengenai taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandanagan Tuhan. Namun inti dari semua itu adalah untuk menenteramkan jiwa kaum muslimin agar tidak cepat gentar dan patah semangat dalam menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat diambil pelajar tentang mentalitas umat islam. Kemenangan bukanlah terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah sedikit, umat islam dapat memperoleh kemenangan, asalkan mempunyai militan yang mempunyai semangat juang yang gigih.

Penutup
Memang benar perkataan orang yang menganggap al-Qur`an adalah lautan ilmu tanpa henti. Ia juga merupakan sumber hidayah bagi umat manusia. Berangkat dari asumsi inilah banyak sekali ulama-ulama islam yang mencoba memahami maksud serta pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur`an dengan upaya-upaya mereka menafsirkan firman Tuhan tersebut tak terkecuali Sayyid Qutb. Meski dalam sebagian penafsiran beliau terdapat kritikan dari sebagian ulama lain, namun menurut hemat penulis hal itu sangatlah wajar. Namun, dibalik itu semua yang patut kita tiru adalah kegigihan beliau dalam memperjuangkan islam dan menghadirkan pesan-pesan al-Qur`an untuk masa sekarang. Semoga Allah membalas semua usaha keras yang telah dikeluarkannya demi kejayaan islam.
Diposting oleh Mesba Label:

Setelah perjuangan yang begitu panjang, akhirnya karya perdanaku berhasil diterbitkan. Buku yang menurutku pribadi sangat urgen dalam mendidik anak secara benar. Apalagi jika kita mencermati dunia pendidikan kita yang sudah carut marut. Dalam buku ini Anda akan dijelaskan secara gamblang dan lugas tentang peran apa saja yang harus dilakukan seorang ibu, bagaimana sebaiknya sekolah mendidik anak, dan tidak ketinggalan peran masyarakat tempat anak bersosialisi.
Dengan membaca buku ini :
1. Anda akan dapat mengenal dengan baik masa pertumbuhan anak dari bebrbagai sisi, fisik, akal,, emosional, sosial.
2. Anda akan mengetahui pendidikan sosial yang tepat untuk anak Anda.
3. Anda akan mendapatkan panduan Islam dalam menanamkan pendidikan kepada anak dengan cara yang paling efektif dan aplikatif, tepat sasaran dan sederhana.

Semoga saja buku-buku lainnya bisa menyusul.. Amin ya Rabb!!


Diposting oleh Mesba
"Aku mengadu kepada imam Waki' tentang hafalanku yang lemah,
Lantas ia memberiku petunjuk agar meninggalkan kemaksiyatan.
Dia membertahuku bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah (hidayah) tidak diberikan kepada Sang Pendosa."
Sederhana namun penuh makna. Begitu kiranya penilaianku terhadap bait-bait syair imam Syafi'i di atas. Sebuah pengalaman pengembaran intelektual ulama sekaliber imam Syafi'i yang patut diteladani seorang penimba ilmu. Meninggalkan maksiyat. Dua kata yang memiliki peran signifikan dalam sukses tidaknya sesorang yang sedang berproses mencari ilmu. Aku dulu termasuk salah satu dari sekian orang yang meragukan teori imam Syafi'i ini, saat beberapa teman meyakinkanku dengan membawakanku beberapa bukti nyata. Sebut saja, ilmuan-ilmuan barat yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Atau, Snouk Hurgronje, salah seorang misionaris, dengan kebenciannya yang sangat terhadap Islam dan Al-Qur`an, toh nyatanya ia mampu dengan mudah menghafal Al-Qur`an. Namun keraguan itu sirna sudah saat kita mau mengkaji lebih lanjut korelasi antara hati dan ilmu, juga ilmu dan dosa.

Mari sejenak kita kembali ke masa lalu. Masa-masa SMP kita. Tentunya kita semua tidak melupakan pelajaran Fisika. Dahulu, kita pernah diajarkan tentang adanya daya tarik antara dua benda yang berbeda jenis. Daya tarik ini dalam kajian Fisika sering diistilahkan dengan kata Adhesi (kira-kira begitu namanya kalo nggak salah). Guru-guru SMP kita dulu menyontohkanya dengan cara menyuruh siswanya maju ke depan kelas untuk mengambil kapur lalu menuliskan beberapa bait kata di papan tulis. Apa yang terjadi? Pak guru lalu menjelaskan kepada siswa inilah yang disebut dengan daya Adhesi. Kapur dan papan tulis. Dua jenis benda yang berbeda namun ia dapat menyatu. Sebut saja ini permasalahan pertama.

Kita menuju ke permasalahan kedua. Bagaimana jika keadaannya tidak sebersih dengan keadaannya pada permasalahan pertama. Atau dengan kata lain, papan tulis atau kapurnya mulai diselimuti dengan benda-benda lain semisal debu, kerikil, dan lain sebagaimana. Dipastikan yang terjadi adalah kita akan mengalami kesulitan saat menuliskannya di papan tulis. Kalau pun bisa tentunya diperlukan sebuah usaha yang keras dan hasil tulisannya pun tak sebagus pada kondisi pertama. Goresan-goresan itu hanya meninggalkan bekas yang samar. Semakin banyak debu yang menempel di papan tulis maka tingkat kesulitan kita menuliskannya di papan tulis pun kian bertambah.

Namun, ada hal menarik lagi jika debu-debu itu semakin banyak dan mengeras lalu menutupi seluruh permukaan papan tulis. Kita tidak merasakan kesulitan saat menggoreskan kapur ke papan tulis seperti halnya yang terjadi pada kondisi kedua. Apa permasalahannya? Ternyata, sebenernya tulisan kita tidaklah menempel pada papan tulis, melainkan hanya melekat di atas tumpukan debu-debu yang telah membatu itu.

Kembali lagi kita mengupas bait-bait syair imam Syafi'i di atas. Ilmu, hati, dan kemaksiyatan. Bisa dikatakan, ilmu dan hati adalah contoh lain dari daya adhesi. Keduanya merupakan "dua benda" berbeda jenis yang bisa saling tarik menarik. Sama seperti kapur dan papan tulis, proses tarik menarik dua benda ini pun beragam. Kadang mudah, kadang pula susah. Jika hati kita dalam keadaan bersih, ilmu yang masuk pun akan semakin mudah menancap. Lain lagi ceritanya jika hati kita diselimuti oleh dosa-dosa. Mengapa bisa demikian? Betulkah dosa-dosa yang kita perbuat mampu menjelma menjadi debu-debu pada hati? Hingga ilmu yang akan digoreskan padanya pun terhalang.

Untuk menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya kita mengetahui hakikat dosa itu sendiri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Dosa adalah satu perbuatan yang selalu membuat resah di hati, dan timbul perasaan tidak enak jika perbuatan itu dilihat orang." Inilah yang deskripsikan Rasulullah. Keresahanan-keresahan inilah yang membuat hati tidak tenang sehingga berpengaruh dalam usaha masuknya ilmu kedalam hati. Jika memang demikian, maka teori imam Waqi' yang disampaikan kepada muridnya, Imam Syafi'i adalah benar. Tapi, bagaiamana dengan kisah Snaouk Hurgrounje yang tidak merasa kesulitan mengafalkan Al-Qur`an? Jawabnya simpel. Sebab ia tidak merasakan keresahan-keresahan atas tindakan maksiyat yang dilakukannya lantaran hatinya yang telah membatu. Sama persis seperti pada permasalahan ketiga yang telah aku singgung di depan. Dosa-dosa yang ia lakukan bak debu yang telah membatu. Karena terlalu banyak, tertumpuk sekian banyak, terjadi berulang-ulang hingga berkarat dan membatu. Hal ini seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadits berikut, "Jika seorang hamba berbuat dosa, maka dalam hatinya ada satu titik yang berwarna hitam. Apabila ia bertobat, mencabut dosanya dan mohon ampunan kepada allah, maka hatinya kembali bersih berkilau. Namun apabila dosanya bertambah, maka bertambah hitam pula hatinya sehingga seluruh hatinya menjadi kelam." Dosa yang dilakukan berulang-ulang bisa membuat hati sang empunya membatu karena telah tertutup titik-titik hitam. Wajar jika dalam kondisi ini proses belajar mengajar tidak mengalami hambatan atau "sepintas" normal. Dikatakan sepintas, sebab kenyataannya ilmu-ilmu yang didapat hanya melekat pada tumpukan titik-titik hitam yang menutupi permukaan hati, dan bukan pada hati. Karenanya, janganlah heran jika orang-orang seperti ini tidak tercerahkan dengan ilmu-ilmu yang mereka dapat. Atau dengan kata lain, semua ilmu yang dipelajari tidaklah berpengaruh pada kehidupannya. Lain halnya dengan mereka yang menuntut ilmu dengan hati yang bersih tanpa terkontaminasi dengan dosa. Proses terjadinya pun semakin mudah dan ilmu yang di dapat mampu mempengaruhi tingkah lakunya sehari-hari. Ibarat filosopi padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Semakin banyak ilmu, ianya semakin takut pada Sang Maha Mencipta. Dan ilmu yang didapat pun mampu mengarahkannya kepada keimanan. Bukan saja pada saat melekat di hati, melainkan ketika pertama kali mendengarkannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal."
Diposting oleh Mesba Label:
SEANDAINYA Kitab-kitab Suci hanyalah buku-buku hukum yang tanpa puisi, maka manusia sudah lama akan hidup dengan rohani yang kering. Bhagawat Gita, Injil, Qur'an. Di tengah-tengah pengalaman masa kita kini, salah satu kebutuhan kita adalah menghidupkan kembali puisi yang terdapat di dalamnya.

Dan itu tidak berarti hanya menterjemahkannya dengan hiasan-hiasan verbal ataupun membacanya dengan gaya yang indah. Terjemahan puitis Qur'an yang dirintis oleh Mohammad Diponegoro di Indonesia beberapa tahun yang lalu, juga usaha Nyoman S. Pendit dengan Bhagawat Gita, membuktikan bahwa mereka tidak bermaksud memberikan ornamen. Sebab ornamen itu me¬mang tidak kita butuhkan. Yang lebih fundamentil dalam meng¬hidupkan kembali puisi Kitab Suci ialah, sebenarnya, hidupnya kembali rohani kita sendiri. Bagi saya itu berarti pembaharuan sikap, untuk lebih mampu menerima Kitab Suci bukan sekedar sebagai sebuah KUHP.

Sebab Tuhan memang bersabda, dengan bahasa manusia, dalam puisi. Dan puisi, dengan perlambang-perlambangnya, dengan iramanya, dengan seluruh semangatnya, tidaklah mendikte. Puisi adalah pembicaraan ke dalam hati, yang mengimplikasikan peng¬akuan orang kedua sebagai person, dengan segala kemungkinan¬nya. Menerima Kitab Suci sebagai puisi yang hidup berarti mene¬rima sabda Tuhan bukan sebagai dekrit, melainkan panggilan dialog, bukan sebagai intimidasi, tapi sebagai pewedaran kasih¬ sayang. Dengan demikian kita membebaskan diri dari gambaran sepihak yang menyesatkan tentang Tuhan dan manusia: Tuhan sebagai semacam. Tiran, dan manusia sebagai kawula jajahan¬Nya yang sudah dibuang, dan senantiasa perlu dicurigai.

Terlalu sering, kita diminta untuk takut kepada-Nya hingga terlalu sering pula kita lupa bahwa kitapun sebenarnya bisa tertarik dan mencintai-Nya. Dalam sebuah karya otobiografisnya Henry Miller menulis bahwa pada suatu ketika, di satu dinding di kota Chicago, ia tiba-tiba melihat tulisan dengan huruf-huruf setinggi sepuluh kaki: “Good News! God is Love!”. Seolah-olah, berita baik itu perlu dijadikan headline walaupun berita itu sebe¬narnya menceritakan kebenaran yang tidak baru. Soalnya karena kebenaran yang tidak baru itu sudah lama dibungkamkan, dan manusia sudah lama tak tahu lagi. Kita mengenal tokoh Hasan dalam novel Atheis Achdiat K. Miharja: ia menderita karena Tuhan sejak kecil digambarkan kepadanya sebagai Pemilik Neraka yang ganas, yang berbicara hanya tentang ancaman dan tidak menghibur.

Tuhan yang tidak menghibur adalah Tuhan yang digambarkan bukan sebagai Maha Pengasih dan Pengampun, melainkan sebagai Maha Membenci. Dan seandainya demikian, ia adalah pencipta yang sia-sia. Sebab, dengan begitu kehidupan kita kehilangan arti, manusia adalah suatu hasil yang absurd. Dengan begitu kita lupa bahwa kehidupan adalah suatu anugerah, bahwa dunia bukanlah tempat pembuangan yang terkutuk, bahwa manusia adalah pen¬ting, khalifah di atas bumi, dan bukannya anjing diburu.

Menerima arti penting manusia itulah sebenarnya persoalan kita kini. Jika kita percaya tidak adanya paksaan dalam agama, jika kita cukup terbuka untuk hidup dalam puisi kata-kata Tuhan dan bukannya hanya hidup dalam ancaman ancaman-Nya, maka kita harus mempercayai manusia dengan kemerdekaan¬nya. Sebab Tuhan mengaruniai kita dengan apa yang disebut Iqbal sebagai “kemerdekaan ego insani”. Sebab hubungan antara manu¬sia dengan Tuhan, yang dalam, filsafat zaman ini disebut sebagai¬ hubungan antara “Akun dan Engkau”, adalah hubungan antara Pribadi dan pribadi. Lewat puisi Kitab Suci sajalah hubungan semacam itu bisa dialami: pribadiku tidak tenggelam, tapi justru tampil, dengan rohani yang hidup, dengan kemerdekaan. Pen¬deknya, suatu hubungan tanpa pamrih, di mana manusia berterima kasih dalam situasi lulut-bekti, suatu kontak langsung tanpa per¬antara orang lain karena puisi, pada akhirnya, tidak ditentukan oleh makelar.

Memang, pada akhirnya, percakapan Tuhan dengan manusia dalam pengalaman puitis tidak ditentukan oleh orang ketiga. Kita bisa memperoleh pertolongan orang lain untuk menafsirkan Sabda Tuhan, tapi kemudian soalnya tergantung pada kita sendiri untuk menentukan sikap. Lewat puisi, kata-kata Tuhan tidak sekedar menyampaikan hal ada-Nya, tapi juga sekaligus misterium-Nya. Sebab dalam pertemuan yang dijelmakan oleh puisi bahasa menjadi kaya, menuju penggambaran yang komprehen¬sif, dan menampilkan kenyataan-kenyataan yang tidak sepenuhnya bisa dibikin jelas oleh analisa. Artikulasi puitis tidak berbicara soal detail, segi demi segi. Artikulasi itu mengandung ambiguitas¬nya sendiri, tapi tetap bisa berkomunikasi. Lewat bahasa puitis seperti itulah Tuhan tampil ke hati kita, menciptakan suatu pengalaman batin, yang telah menyebabkan seorang Chairil Anwar berkata: “Biar susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh”. Ia mengalami misterium Tuhan, yang membukakan pelbagai kemungkinan penafsiran, tapi tak pernah bisa sepenuhnya digam¬barkan. Tak seorangpun menyamai-Nya, dan tak seorangpun bisa berpretensi telah menemukan satu-satunya Kebenaran tentang-Nya. Itulah sebabnya, Tuhan memberi kesempatan kepada masing-masing kita untuk berhubungan denganNya ............

Demikianlah, menghidupkan kembali puisi dalam Kitab Suci berarti membuka pintu kepada suatu komunikasi yang bebas, yang otentik dan individuil antara Tuhan dan manusia. Menghidupkan kembali puisi itu berarti menghindari kecenderungan statis dalam sistem kepercayaan kita. Iman tidak bisa ditransplan¬tasikan, agama tidak bisa diregimentasikan dan penafsiran tentang Tuhan tidak bisa dimonopoli.

Saya kira, zaman kita memerlukan kesadaran-kesadaran semacam itu

* Goenawan Mohamad
Diposting oleh Mesba Label:
Lintas Sejarah Perjalanan Madzhab Syafi'i
Sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya menganut madzhab Syafi'i, alangkah kurang sempurna jika kita tidak tahu sejarah munculnya madzhab ini. Adalah madzhab Syafi'i, salah satu dari keempat madzhab yang hingga sekarang masih tetap exis dibanding madzhab-madzhab fikih lainnya, semisal Ja'fary etc. Seperti halnya namanya, madzhab ini pertama kali dicetuskan oleh imam Syafi'i.

Siapakah Imam Syafi'i?
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthallib bin Abdu Manaf. Beliau dilahirkan di Ghaza pada tahun 150 H dan meningal dunia di Mesir pada tahun 204 H.

Syafi’i datang ke Makah saat usianya masih kecil. Beliau menjalani kehidupannya sebagai anak yatim yang miskin dalam dekapan ibunya, hingga dia pun tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan untuk guru ngajinya. Di usianya yang belia, tak lebih dari tujuh tahun, Imam Syafi’i berhasil merampungkan hafalan Al-Qur`annya. Beliau belajar membacanya atas bimbingan Isma’il bin Qistintin, ulama tersohor penduduk Makah kala itu. Untuk ilmu-ilmu agama, beliau menimbanya dari ulama-ulama penduduk Makah, seperti: Sufyan bin ‘Uyainah, seorang imam ahli Hadits, Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang ahli fikih kota Makah, Said bin Salim al-Qadah, Dawud bin Abdurrahman al-‘Aththâr, dan Abdul Majib bin Abdul Aziz bin Abu Dawud.

Saat usianya menginjak 13 tahun, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah untuk menimba ilmu dari ulama-ulama Madinah. Kitab Muwaththa’ yang dikarang oleh Imam Malik telah telah berhasil dihafalnya diluar kepala. Beliau ingin menyimaknya langsung oleh Imam Malik sendiri. Pada awalnya, Imam Malik meremehkan kemampuan Syafii kecil karena usianya yang tergolong masih belia serta meminta beliau menghadirkan orang yang membacakannya bersamanya. Akan tetapi, setelah Imam Malik mendengar bacaan Imam Syafii, beliau sangat terkagum karena kefasihan serta keindahan bacaannya. Selanjutnya, beliau berkhidmat kepadanya dari taun 163 H hingga wafatnya pada tahun 179 H.

Di Madinah, beliau juga menimba ilmu dari Ibrahim bin Sa’d al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim bin Abu Yahya al-Aslami, Muhammad bin Said bin Abu Fadik, dan Abdullah bin Nafi’ ash-Shâigh.

Imam Syafi’ pertama kali belajar dari ulama-ulama Baghdad pada tahun 184 H, terlebih lagi menimba dari seorang ulama madzhab Hanafi terkenal, Imam Muhammad bin Hasan teman dari Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafiyah yang terkenal. Maka, Imam Syafi’i pun mendalami seluruh kitab karangannya serta mempelajari madzhab Hanafiyah secara menyeluruh.

Di Baghdad ini pula beliau berguru kepada Waki’ bin Jarah, Abdul Wahab bin Abdul Majid ats-Tsaqafi, Abu Usamah Hammad bin Usamah al-Kufi, dan Ismail bin ‘Illiyyah. Kesemuanya adalah para Huffâdz al-Hadits.
Imam Syafi’i hanya beberapa saat saja tinggal di Baghdad, setelah itu beliau kembali lagi ke Makah guna mendirikan majelis ta’lim pertamanya di Masjidil Haram. Pada tahun 195 H, imam Syafi’i kembali lagi ke Baghdad untuk kedua kalinya. Kala itu, beliau berumur 45 tahun dan telah menjadi seorang alim yang memiliki metode pengajaran yang sempurna dan madzhab tersendiri. Perjalan ke Baghdad yang kedua ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam percaturan keilmuannya di Baghdad. Pada periode ini, beliau menyebarluaskan madzhab yang diusungnya kemudian diperkenalkan kepada masyarakat Baghdad yang notabene telah bermadzhab Hanafiyah. Dalam kajian fikih Islam, periode ini terkenal dengan istilah Qaul Qadim-nya imam Syafi’i sebelum akhirnya beliau menyempurnakan madzhabnya ketika di Mesir yang sering disebut dengan istilah Qaul Jadid. Imam Syafi’i kembali lagi ke Makah kemudian datang lagi ke Baghdad untuk kunjungan terakhir kalinya pada tahun 198 H. Namun, dalam kunjungannya yang terakhir ini beliau hanya singgah untuk beberapa bulan dan berkeinginan untuk melanjutkan perjalannya menuju Mesir. Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad setelah berhasil menyebar luaskan madzhabnya dan meninggalkan pengikut dalam jumlah besar yang bertanggung jawab menyebarkan madzhab serta mengkodifikasikan karyanya sehingga terbentuklah satu madrasah fikih tersendiri dalam madzhab syafi’i yang terkenal dengan sebutan Thariqah ‘Iraqiyyin.

Sebelum berencana untuk singgah di Mesir, beliau telah mengenal dengan baik kondisi sosial masyarakatnya. Imam Syafi’i pernah bertanya kepada Rabi’ tentang penduduk Mesir. Rabi’ menjawab, “Mereka ada dua kelompok. Satu kelompok berpihak kepada pendapat imam Malik dan memperjuangkannya, sedang kelompok satunya cenderung memilih pendapat imam Abu Hanifah dan dengan getol memperjuangkannya pula.”
Mendengar jawaban dari Rabi’ tersebut, Imam Syafi’i berkata, “Saya harap bisa secepatnya datang ke Mesir. Lalu aku membawakan untuk mereka satu madzhab baru yang dapat menyibukkan mereka dari dua pendapat itu semua.”
Dan sekarang, memang benar apa yang diucapkan imam Syaf’i saat itu. Beliau sangat dicintai para pengikutnya, bersikap dermawan terhadap mereka, dan senantiasa membantu mereka dalam segala perkaranya. Imam Syafi’i dikenal banyak orang dan beliau memiliki murid di Baghdad, Mesir, dan juga di Khurasan.

Periodesasi Perjalanan Madzhab Syafi’i
Dalam perjalanannya, ternyata madzhab Syafi’i telah melewati beberapa periode sebagaimana dapat digambarkan seperti berikut ini.
Pertama, periode pembentukan madzhab (Marhalah I’dâd wa at-Takwîn)
Periode ini dimulai sejak wafatnya imam Malik (189 H) dan terus berlanjut sekitar hampir sepuluh tahun sampai imam Syafi’i datang ke Baghdad untuk kedua kalinya, yaitu pada tahun 195 H.
Kedua, periode munculnya Madzhab Qadim
Periode ini berlangsung sejak kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad untuk kedua kalinya (195 H) sampai beliau pergi ke Mesir pada tahun 199 H.
Ketiga, periode pematangan dan penyempurnaan Madzhab Jadîd
Dimulai sejak kedatangan Imam Syafi’i di Mesir hingga wafatnya pada tahun 204 H.
Keempat, periode Takhrîj wa Tadzyil (penyuntingan ulang)
Periode ini dilakukan oleh para pengikut Imam Syafi’i atau Ashhâb asy-Syâfi’i setelah beliau wafat dan terus berlangsung hingga pertengahan abad ke-5 –sebagian para peneliti menyebutkan hingga abad ke-7 H. Pada periode ini, Ashhab Syafi’i mulai menguraikan permasalahan-permasalahan yang diamabil dari dasar madzhab.
Kelima, periode penetapan madzhab (Marhalah Istiqrâr)
Disebut demikian karena pada periode ini telah berdiri madrasah-madrasah madzhab, telah berhasil menyatukan pendapat-pendapat yang bertentangan, dan telah selesai juga menarjihkan satu pendapat dari perkara yang diperselihkan ulama’ madzhab (perselisihan pendapat intern madzhab). Selain itu, pada periode ini pula telah berhasil mengkodifikasikan kitab ringkasan dalam madzhab yang berisi pendapat-pendapat yang rajih (diunggulkan) dalam madzhab beserta penjelasan (syarahnya) dengan metode madrasahnya masing-masing. (bersambung)
Diposting oleh Mesba Label:
Udara Kairo pagi ini lebih dingin dari biasanya. Sekitar 13 derajat celcius. Lumayan dingin untuk ukuran anak pesisir seperti aku ini yang terbiasa dengan hawa panas. Dengan sedikit asa dan serpihan harapan-harapan yang tersisa, aku putuskan keluar rumah untuk pergi ke kuliah. Berharap di sana aku mendapat kabar terbaru tentang perkuliahan, terlebih kabar-kabar yang berkaitan dengan ujian. Seperti biasa, di saat-saat menjelang ujian seperti ini, informasi-informasi dari bangku perkuliahan sangat membantuku dalam menghadapi ujian. Maklum, sudah beberapa hari ini aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke luar rumah dan cenderung lebih suka menghabiskan waktuku berlama-lama di depan monitor. Menunaikan amanat sekaligus mencari penghasilan. Sekedar untuk bertahan hidup dan membayar sewa kontrakan.

Tepat jam 09 pagi waktu Kairo aku keluar rumah. Namun, mungkin ini bukan hariku. Bus 80 coret yang biasa mengantarkanku ke kuliah terlihat meluncur deras di hadapanku tanpa sempat kukejar. Artinya, aku harus menunggu lagi sekitar 15-30 menitan kedepan untuk menanti datangnya 80 coret yang lain. Setibanya di kuliah, agar tidak menghabiskan banyak waktu, aku percepat langkahku menuju kampusku tercinta, Al-Azhar University. Universitas Islam tertua di dunia. Lagi-lagi, sialnya aku hari ini. Setibanya di sana, kelasku kosong. Selesai sudah harapanku. Bangku-bangku kuliah sudah tertata rapi, hanya ada satu atau dua orang Mesir saja yang masih duduk-duduk menunggu datangnya dosen. Kupikir-pikir, mungkin "muhadharah" sudah selesai. Dan aku harus cepat-cepat pulang membaca diktat dan mengejar ketertinggalanku selama ini.

Udara dingin itu serasa hilang seketika saat aku mulai menyandarkan bahuku di atas jok kursi bus 80 coret yang hendak membawaku pulang. Kali ini, suasana dalam bus nampak terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sangat tenang dan nyaman. Aku serasa tersihir oleh lantunan indah ayat-ayat Al-Qur'an yang aku sendiri belum begitu mengenal siapa pelantunnya. Sungguh mengagumkan. Biasanya, di dalam kamar, aku lebih sering mendengarkan murattalnya imam Ghamidzi, Misyari Rasyid, Hani ar-Rifa'i, Yasir Salamah, dan satu lagi, Abdurrahman Sudaisy yang setidaknya mampu membantuku dalam muraja'ah hafalan Al-Qur`an. Kali ini bacaannya lain. Tanpa kusadari bibirku bergerak-gerak mengikuti lantunan bacaan Syeikh tadi. Kebetulan aku hafal benar surat yang dibacanya. Surat Al-Baqarah. Surat yang sempat aku hafalkan saat aku masih duduk di bangku SMA. Tidak hanya kejadian itu. Aku juga dikejutkan dengan anak kecil berumuran sekitar 12 tahunan berkebangsaan Tan. Entah itu ia berasal dari Uzbekistan, Tajikistan, atau Tan-tan yang lain. Mengagumkan. Anak sekecil itu semangat sekali menghafalkan "nazham" (bait-bait) matan Syathibiyyah. Salah satu kitab yang sangat terkenal yang membahas bacaan al-Qur`an. Kitab yang dikarang oleh imam Syathibi ini berisi tentang Qira'ah Sab'ah (tujuh bacaan Al-Qur`an yang mutawatir). Dulu, aku sempat mengkaji kitab itu bersama Dr. Hani Abdul Mukmin, di Madziyafah. Sebuah tempat kecil di bilangan Husein di depan gerbang kampus Al-Azhar. Pengajarnya kebanyakan dari ulama-ulama Azhar. Itu pun tak berlangsung lama. Aku malu dengan diriku sendiri. Seakaan-akan, aku mendapat pukulan telak dari anak kecil itu. Di usiaku yang ke-22 ini, aku masih merasa belum memiliki apa-apa. Parahnya lagi, aku sekarang sedang duduk di tingkat akhir dan sebentar lagi selesai -biidznillah- kemudian pulang ke tanah air. Lantas, apa yang bisa aku berikan kepada masyarakatku nanti? Ah, tak ada gunanya menyesal sekarang. Kubuang jauh-jauh penyesalan itu. Lalu aku mencoba mentadabburi lantunan ayat Al-Qur`an yang sempat kudengar tadi. Surat Al-Baqarah. Surat kedua dalam urutan mushaf Al-Qur`an. Aku teringat, dalam surat Al-Baqarah itu dijelaskan tiga macam golongan manusia, yaitu: Mukmin, Munafik, dan Kafir, yang semuanya memiliki karakter yang berbeda-beda. Aku berusaha menariknya ke dalam kehidupan kita sekarang ini, sekaligus meringkasnya menjadi dua. Manusia yang berhati baik, dan satunya berhati buruk. Aku pun teringat dengan fenomena kehidupan yang sedang kita jalani. Kataku, sungguh sengsara mereka yang berharap surga Firdaus, tidak ada yang bohong, menipu, dan berbuat zalim. Sungguh kasihan orang yang beraharap melihat umat manusia berubah menjadi para malaikat, saling mengasihi, hanya mengenal perasaan halus dan berbuat baik. Aku sadar, kehidupan yang kita jalani ini sangat beraneka ragam dan manusia yang ada di dalamnya pun sangat heterogen. Sebagian ada yang suka berbuat baik, seperti makhluk yang sangat lemah lembut, dan ada pula yang kekejamamnya melebihi srigala dan ular saat ia berkhianat dan menyakiti orang lain. Sejak kedengkian menggerakkan Kabil untuk membunuh Habil, dunia mulai penuh dengan warna-warni, kebaikan dan kejahatan, penindasaan dan kekuasaan, cinta dan dengki, aman dan cemas.

Mungkin, peran yang harus kita lakukan adalah menjalani kehidupan ini dengan penuh semangat perjuangan, cita-cita tanggap dan tentunya realistis. Selanjutnya, kita harus menjalani kehidupai ini dengan serba positif dan menuntut adanya perubahan. Jangan sampai kita terperangkap dalam jurang-jurang kesalahan dan lembah-lembah kekurangan. Pikirku, jika kita sudah saling mencintai dan berbuat baik, niscaya nikmat luar biasa akan kita dapatkan dan itu harus kita syukuri. Akan tetapi, jika yang kita dapatkan tidak seperti yang diinginkan, maka inilah konsekuensi yang harus kita pikul bersama, yaitu sebuah bencana yang menuntut kesabaran. Dan dengan kesabaran itulah, kita akan mendapatkan pahala.

Berkenaan dengan hal itu, aku mencoba menyimpulkan bahwa kehidupan bukan hanyalah hutan belantara yang menjadi tempat serigala-serigala liar mencari mangsa. Aku yakin, bahwa di belakang kebenaran, banyak tokoh-tokoh yang berdiri dengan gagah di manapun dan kapanpun serta tangan-tangan yang akan mengulurkan kebaikan pun sangat banyak. Akan tetapi, sebelum berjumpa dengan mereka, sudah selazimnya bagi kita semua untuk membiasakan diri dalam menghadapi orang lain, sehingga kita tidak akan tersakiti, mudah menyerah dan menghabiskan usia hanya dengan menggigit jari, selain juga harus senantiasa mempersiapkan kehidupan setelah mati nanti. Aku teringat sebuah pesan singkat dari Mushtafa Shadiq ar-Rafi'i, seorang sastrawan berkebangsaan Mesir keturunan Libanon yang juga penulis kitab Wahyu al-Qalam (Sabda Pena) dan I'jaz al-Qur'an wa Balaghah as-Sunnah an-Nabawiyyah, beliau pernah mengatakan, “Sebagaimana kelompok penjahat akan merugikan orang-orang saleh saat melakukan kejahatan, orang-orang saleh pun akan merugikan yang lain jika tidak beramal saleh.”

Upz, bus yang kutumpangi sudah sampai di Mahattah Akhir Hay Asyir. Tandanya, aku harus turun dan kembali lagi ke rumah. Mungkin inilah sekelumit hikmah yang aku dapatkan hari ini. Sebuah khayalan yang terinsipasi dari bacaan Al-Qur`an. Sungguh, Al-Qur`an merupakan sumber hikmah yang tak akan pernah surut.

Bengkel Terjemah cab. Madrasah, 23 Desember 2008
Diposting oleh Mesba Label:
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates