Setelah perjuangan yang begitu panjang, akhirnya karya perdanaku berhasil diterbitkan. Buku yang menurutku pribadi sangat urgen dalam mendidik anak secara benar. Apalagi jika kita mencermati dunia pendidikan kita yang sudah carut marut. Dalam buku ini Anda akan dijelaskan secara gamblang dan lugas tentang peran apa saja yang harus dilakukan seorang ibu, bagaimana sebaiknya sekolah mendidik anak, dan tidak ketinggalan peran masyarakat tempat anak bersosialisi.
Dengan membaca buku ini :
1. Anda akan dapat mengenal dengan baik masa pertumbuhan anak dari bebrbagai sisi, fisik, akal,, emosional, sosial.
2. Anda akan mengetahui pendidikan sosial yang tepat untuk anak Anda.
3. Anda akan mendapatkan panduan Islam dalam menanamkan pendidikan kepada anak dengan cara yang paling efektif dan aplikatif, tepat sasaran dan sederhana.

Semoga saja buku-buku lainnya bisa menyusul.. Amin ya Rabb!!


Diposting oleh Mesba
"Aku mengadu kepada imam Waki' tentang hafalanku yang lemah,
Lantas ia memberiku petunjuk agar meninggalkan kemaksiyatan.
Dia membertahuku bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah (hidayah) tidak diberikan kepada Sang Pendosa."
Sederhana namun penuh makna. Begitu kiranya penilaianku terhadap bait-bait syair imam Syafi'i di atas. Sebuah pengalaman pengembaran intelektual ulama sekaliber imam Syafi'i yang patut diteladani seorang penimba ilmu. Meninggalkan maksiyat. Dua kata yang memiliki peran signifikan dalam sukses tidaknya sesorang yang sedang berproses mencari ilmu. Aku dulu termasuk salah satu dari sekian orang yang meragukan teori imam Syafi'i ini, saat beberapa teman meyakinkanku dengan membawakanku beberapa bukti nyata. Sebut saja, ilmuan-ilmuan barat yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Atau, Snouk Hurgronje, salah seorang misionaris, dengan kebenciannya yang sangat terhadap Islam dan Al-Qur`an, toh nyatanya ia mampu dengan mudah menghafal Al-Qur`an. Namun keraguan itu sirna sudah saat kita mau mengkaji lebih lanjut korelasi antara hati dan ilmu, juga ilmu dan dosa.

Mari sejenak kita kembali ke masa lalu. Masa-masa SMP kita. Tentunya kita semua tidak melupakan pelajaran Fisika. Dahulu, kita pernah diajarkan tentang adanya daya tarik antara dua benda yang berbeda jenis. Daya tarik ini dalam kajian Fisika sering diistilahkan dengan kata Adhesi (kira-kira begitu namanya kalo nggak salah). Guru-guru SMP kita dulu menyontohkanya dengan cara menyuruh siswanya maju ke depan kelas untuk mengambil kapur lalu menuliskan beberapa bait kata di papan tulis. Apa yang terjadi? Pak guru lalu menjelaskan kepada siswa inilah yang disebut dengan daya Adhesi. Kapur dan papan tulis. Dua jenis benda yang berbeda namun ia dapat menyatu. Sebut saja ini permasalahan pertama.

Kita menuju ke permasalahan kedua. Bagaimana jika keadaannya tidak sebersih dengan keadaannya pada permasalahan pertama. Atau dengan kata lain, papan tulis atau kapurnya mulai diselimuti dengan benda-benda lain semisal debu, kerikil, dan lain sebagaimana. Dipastikan yang terjadi adalah kita akan mengalami kesulitan saat menuliskannya di papan tulis. Kalau pun bisa tentunya diperlukan sebuah usaha yang keras dan hasil tulisannya pun tak sebagus pada kondisi pertama. Goresan-goresan itu hanya meninggalkan bekas yang samar. Semakin banyak debu yang menempel di papan tulis maka tingkat kesulitan kita menuliskannya di papan tulis pun kian bertambah.

Namun, ada hal menarik lagi jika debu-debu itu semakin banyak dan mengeras lalu menutupi seluruh permukaan papan tulis. Kita tidak merasakan kesulitan saat menggoreskan kapur ke papan tulis seperti halnya yang terjadi pada kondisi kedua. Apa permasalahannya? Ternyata, sebenernya tulisan kita tidaklah menempel pada papan tulis, melainkan hanya melekat di atas tumpukan debu-debu yang telah membatu itu.

Kembali lagi kita mengupas bait-bait syair imam Syafi'i di atas. Ilmu, hati, dan kemaksiyatan. Bisa dikatakan, ilmu dan hati adalah contoh lain dari daya adhesi. Keduanya merupakan "dua benda" berbeda jenis yang bisa saling tarik menarik. Sama seperti kapur dan papan tulis, proses tarik menarik dua benda ini pun beragam. Kadang mudah, kadang pula susah. Jika hati kita dalam keadaan bersih, ilmu yang masuk pun akan semakin mudah menancap. Lain lagi ceritanya jika hati kita diselimuti oleh dosa-dosa. Mengapa bisa demikian? Betulkah dosa-dosa yang kita perbuat mampu menjelma menjadi debu-debu pada hati? Hingga ilmu yang akan digoreskan padanya pun terhalang.

Untuk menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya kita mengetahui hakikat dosa itu sendiri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Dosa adalah satu perbuatan yang selalu membuat resah di hati, dan timbul perasaan tidak enak jika perbuatan itu dilihat orang." Inilah yang deskripsikan Rasulullah. Keresahanan-keresahan inilah yang membuat hati tidak tenang sehingga berpengaruh dalam usaha masuknya ilmu kedalam hati. Jika memang demikian, maka teori imam Waqi' yang disampaikan kepada muridnya, Imam Syafi'i adalah benar. Tapi, bagaiamana dengan kisah Snaouk Hurgrounje yang tidak merasa kesulitan mengafalkan Al-Qur`an? Jawabnya simpel. Sebab ia tidak merasakan keresahan-keresahan atas tindakan maksiyat yang dilakukannya lantaran hatinya yang telah membatu. Sama persis seperti pada permasalahan ketiga yang telah aku singgung di depan. Dosa-dosa yang ia lakukan bak debu yang telah membatu. Karena terlalu banyak, tertumpuk sekian banyak, terjadi berulang-ulang hingga berkarat dan membatu. Hal ini seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadits berikut, "Jika seorang hamba berbuat dosa, maka dalam hatinya ada satu titik yang berwarna hitam. Apabila ia bertobat, mencabut dosanya dan mohon ampunan kepada allah, maka hatinya kembali bersih berkilau. Namun apabila dosanya bertambah, maka bertambah hitam pula hatinya sehingga seluruh hatinya menjadi kelam." Dosa yang dilakukan berulang-ulang bisa membuat hati sang empunya membatu karena telah tertutup titik-titik hitam. Wajar jika dalam kondisi ini proses belajar mengajar tidak mengalami hambatan atau "sepintas" normal. Dikatakan sepintas, sebab kenyataannya ilmu-ilmu yang didapat hanya melekat pada tumpukan titik-titik hitam yang menutupi permukaan hati, dan bukan pada hati. Karenanya, janganlah heran jika orang-orang seperti ini tidak tercerahkan dengan ilmu-ilmu yang mereka dapat. Atau dengan kata lain, semua ilmu yang dipelajari tidaklah berpengaruh pada kehidupannya. Lain halnya dengan mereka yang menuntut ilmu dengan hati yang bersih tanpa terkontaminasi dengan dosa. Proses terjadinya pun semakin mudah dan ilmu yang di dapat mampu mempengaruhi tingkah lakunya sehari-hari. Ibarat filosopi padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Semakin banyak ilmu, ianya semakin takut pada Sang Maha Mencipta. Dan ilmu yang didapat pun mampu mengarahkannya kepada keimanan. Bukan saja pada saat melekat di hati, melainkan ketika pertama kali mendengarkannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal."
Diposting oleh Mesba Label:
SEANDAINYA Kitab-kitab Suci hanyalah buku-buku hukum yang tanpa puisi, maka manusia sudah lama akan hidup dengan rohani yang kering. Bhagawat Gita, Injil, Qur'an. Di tengah-tengah pengalaman masa kita kini, salah satu kebutuhan kita adalah menghidupkan kembali puisi yang terdapat di dalamnya.

Dan itu tidak berarti hanya menterjemahkannya dengan hiasan-hiasan verbal ataupun membacanya dengan gaya yang indah. Terjemahan puitis Qur'an yang dirintis oleh Mohammad Diponegoro di Indonesia beberapa tahun yang lalu, juga usaha Nyoman S. Pendit dengan Bhagawat Gita, membuktikan bahwa mereka tidak bermaksud memberikan ornamen. Sebab ornamen itu me¬mang tidak kita butuhkan. Yang lebih fundamentil dalam meng¬hidupkan kembali puisi Kitab Suci ialah, sebenarnya, hidupnya kembali rohani kita sendiri. Bagi saya itu berarti pembaharuan sikap, untuk lebih mampu menerima Kitab Suci bukan sekedar sebagai sebuah KUHP.

Sebab Tuhan memang bersabda, dengan bahasa manusia, dalam puisi. Dan puisi, dengan perlambang-perlambangnya, dengan iramanya, dengan seluruh semangatnya, tidaklah mendikte. Puisi adalah pembicaraan ke dalam hati, yang mengimplikasikan peng¬akuan orang kedua sebagai person, dengan segala kemungkinan¬nya. Menerima Kitab Suci sebagai puisi yang hidup berarti mene¬rima sabda Tuhan bukan sebagai dekrit, melainkan panggilan dialog, bukan sebagai intimidasi, tapi sebagai pewedaran kasih¬ sayang. Dengan demikian kita membebaskan diri dari gambaran sepihak yang menyesatkan tentang Tuhan dan manusia: Tuhan sebagai semacam. Tiran, dan manusia sebagai kawula jajahan¬Nya yang sudah dibuang, dan senantiasa perlu dicurigai.

Terlalu sering, kita diminta untuk takut kepada-Nya hingga terlalu sering pula kita lupa bahwa kitapun sebenarnya bisa tertarik dan mencintai-Nya. Dalam sebuah karya otobiografisnya Henry Miller menulis bahwa pada suatu ketika, di satu dinding di kota Chicago, ia tiba-tiba melihat tulisan dengan huruf-huruf setinggi sepuluh kaki: “Good News! God is Love!”. Seolah-olah, berita baik itu perlu dijadikan headline walaupun berita itu sebe¬narnya menceritakan kebenaran yang tidak baru. Soalnya karena kebenaran yang tidak baru itu sudah lama dibungkamkan, dan manusia sudah lama tak tahu lagi. Kita mengenal tokoh Hasan dalam novel Atheis Achdiat K. Miharja: ia menderita karena Tuhan sejak kecil digambarkan kepadanya sebagai Pemilik Neraka yang ganas, yang berbicara hanya tentang ancaman dan tidak menghibur.

Tuhan yang tidak menghibur adalah Tuhan yang digambarkan bukan sebagai Maha Pengasih dan Pengampun, melainkan sebagai Maha Membenci. Dan seandainya demikian, ia adalah pencipta yang sia-sia. Sebab, dengan begitu kehidupan kita kehilangan arti, manusia adalah suatu hasil yang absurd. Dengan begitu kita lupa bahwa kehidupan adalah suatu anugerah, bahwa dunia bukanlah tempat pembuangan yang terkutuk, bahwa manusia adalah pen¬ting, khalifah di atas bumi, dan bukannya anjing diburu.

Menerima arti penting manusia itulah sebenarnya persoalan kita kini. Jika kita percaya tidak adanya paksaan dalam agama, jika kita cukup terbuka untuk hidup dalam puisi kata-kata Tuhan dan bukannya hanya hidup dalam ancaman ancaman-Nya, maka kita harus mempercayai manusia dengan kemerdekaan¬nya. Sebab Tuhan mengaruniai kita dengan apa yang disebut Iqbal sebagai “kemerdekaan ego insani”. Sebab hubungan antara manu¬sia dengan Tuhan, yang dalam, filsafat zaman ini disebut sebagai¬ hubungan antara “Akun dan Engkau”, adalah hubungan antara Pribadi dan pribadi. Lewat puisi Kitab Suci sajalah hubungan semacam itu bisa dialami: pribadiku tidak tenggelam, tapi justru tampil, dengan rohani yang hidup, dengan kemerdekaan. Pen¬deknya, suatu hubungan tanpa pamrih, di mana manusia berterima kasih dalam situasi lulut-bekti, suatu kontak langsung tanpa per¬antara orang lain karena puisi, pada akhirnya, tidak ditentukan oleh makelar.

Memang, pada akhirnya, percakapan Tuhan dengan manusia dalam pengalaman puitis tidak ditentukan oleh orang ketiga. Kita bisa memperoleh pertolongan orang lain untuk menafsirkan Sabda Tuhan, tapi kemudian soalnya tergantung pada kita sendiri untuk menentukan sikap. Lewat puisi, kata-kata Tuhan tidak sekedar menyampaikan hal ada-Nya, tapi juga sekaligus misterium-Nya. Sebab dalam pertemuan yang dijelmakan oleh puisi bahasa menjadi kaya, menuju penggambaran yang komprehen¬sif, dan menampilkan kenyataan-kenyataan yang tidak sepenuhnya bisa dibikin jelas oleh analisa. Artikulasi puitis tidak berbicara soal detail, segi demi segi. Artikulasi itu mengandung ambiguitas¬nya sendiri, tapi tetap bisa berkomunikasi. Lewat bahasa puitis seperti itulah Tuhan tampil ke hati kita, menciptakan suatu pengalaman batin, yang telah menyebabkan seorang Chairil Anwar berkata: “Biar susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh”. Ia mengalami misterium Tuhan, yang membukakan pelbagai kemungkinan penafsiran, tapi tak pernah bisa sepenuhnya digam¬barkan. Tak seorangpun menyamai-Nya, dan tak seorangpun bisa berpretensi telah menemukan satu-satunya Kebenaran tentang-Nya. Itulah sebabnya, Tuhan memberi kesempatan kepada masing-masing kita untuk berhubungan denganNya ............

Demikianlah, menghidupkan kembali puisi dalam Kitab Suci berarti membuka pintu kepada suatu komunikasi yang bebas, yang otentik dan individuil antara Tuhan dan manusia. Menghidupkan kembali puisi itu berarti menghindari kecenderungan statis dalam sistem kepercayaan kita. Iman tidak bisa ditransplan¬tasikan, agama tidak bisa diregimentasikan dan penafsiran tentang Tuhan tidak bisa dimonopoli.

Saya kira, zaman kita memerlukan kesadaran-kesadaran semacam itu

* Goenawan Mohamad
Diposting oleh Mesba Label:
Lintas Sejarah Perjalanan Madzhab Syafi'i
Sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya menganut madzhab Syafi'i, alangkah kurang sempurna jika kita tidak tahu sejarah munculnya madzhab ini. Adalah madzhab Syafi'i, salah satu dari keempat madzhab yang hingga sekarang masih tetap exis dibanding madzhab-madzhab fikih lainnya, semisal Ja'fary etc. Seperti halnya namanya, madzhab ini pertama kali dicetuskan oleh imam Syafi'i.

Siapakah Imam Syafi'i?
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthallib bin Abdu Manaf. Beliau dilahirkan di Ghaza pada tahun 150 H dan meningal dunia di Mesir pada tahun 204 H.

Syafi’i datang ke Makah saat usianya masih kecil. Beliau menjalani kehidupannya sebagai anak yatim yang miskin dalam dekapan ibunya, hingga dia pun tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan untuk guru ngajinya. Di usianya yang belia, tak lebih dari tujuh tahun, Imam Syafi’i berhasil merampungkan hafalan Al-Qur`annya. Beliau belajar membacanya atas bimbingan Isma’il bin Qistintin, ulama tersohor penduduk Makah kala itu. Untuk ilmu-ilmu agama, beliau menimbanya dari ulama-ulama penduduk Makah, seperti: Sufyan bin ‘Uyainah, seorang imam ahli Hadits, Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang ahli fikih kota Makah, Said bin Salim al-Qadah, Dawud bin Abdurrahman al-‘Aththâr, dan Abdul Majib bin Abdul Aziz bin Abu Dawud.

Saat usianya menginjak 13 tahun, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah untuk menimba ilmu dari ulama-ulama Madinah. Kitab Muwaththa’ yang dikarang oleh Imam Malik telah telah berhasil dihafalnya diluar kepala. Beliau ingin menyimaknya langsung oleh Imam Malik sendiri. Pada awalnya, Imam Malik meremehkan kemampuan Syafii kecil karena usianya yang tergolong masih belia serta meminta beliau menghadirkan orang yang membacakannya bersamanya. Akan tetapi, setelah Imam Malik mendengar bacaan Imam Syafii, beliau sangat terkagum karena kefasihan serta keindahan bacaannya. Selanjutnya, beliau berkhidmat kepadanya dari taun 163 H hingga wafatnya pada tahun 179 H.

Di Madinah, beliau juga menimba ilmu dari Ibrahim bin Sa’d al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim bin Abu Yahya al-Aslami, Muhammad bin Said bin Abu Fadik, dan Abdullah bin Nafi’ ash-Shâigh.

Imam Syafi’ pertama kali belajar dari ulama-ulama Baghdad pada tahun 184 H, terlebih lagi menimba dari seorang ulama madzhab Hanafi terkenal, Imam Muhammad bin Hasan teman dari Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafiyah yang terkenal. Maka, Imam Syafi’i pun mendalami seluruh kitab karangannya serta mempelajari madzhab Hanafiyah secara menyeluruh.

Di Baghdad ini pula beliau berguru kepada Waki’ bin Jarah, Abdul Wahab bin Abdul Majid ats-Tsaqafi, Abu Usamah Hammad bin Usamah al-Kufi, dan Ismail bin ‘Illiyyah. Kesemuanya adalah para Huffâdz al-Hadits.
Imam Syafi’i hanya beberapa saat saja tinggal di Baghdad, setelah itu beliau kembali lagi ke Makah guna mendirikan majelis ta’lim pertamanya di Masjidil Haram. Pada tahun 195 H, imam Syafi’i kembali lagi ke Baghdad untuk kedua kalinya. Kala itu, beliau berumur 45 tahun dan telah menjadi seorang alim yang memiliki metode pengajaran yang sempurna dan madzhab tersendiri. Perjalan ke Baghdad yang kedua ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam percaturan keilmuannya di Baghdad. Pada periode ini, beliau menyebarluaskan madzhab yang diusungnya kemudian diperkenalkan kepada masyarakat Baghdad yang notabene telah bermadzhab Hanafiyah. Dalam kajian fikih Islam, periode ini terkenal dengan istilah Qaul Qadim-nya imam Syafi’i sebelum akhirnya beliau menyempurnakan madzhabnya ketika di Mesir yang sering disebut dengan istilah Qaul Jadid. Imam Syafi’i kembali lagi ke Makah kemudian datang lagi ke Baghdad untuk kunjungan terakhir kalinya pada tahun 198 H. Namun, dalam kunjungannya yang terakhir ini beliau hanya singgah untuk beberapa bulan dan berkeinginan untuk melanjutkan perjalannya menuju Mesir. Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad setelah berhasil menyebar luaskan madzhabnya dan meninggalkan pengikut dalam jumlah besar yang bertanggung jawab menyebarkan madzhab serta mengkodifikasikan karyanya sehingga terbentuklah satu madrasah fikih tersendiri dalam madzhab syafi’i yang terkenal dengan sebutan Thariqah ‘Iraqiyyin.

Sebelum berencana untuk singgah di Mesir, beliau telah mengenal dengan baik kondisi sosial masyarakatnya. Imam Syafi’i pernah bertanya kepada Rabi’ tentang penduduk Mesir. Rabi’ menjawab, “Mereka ada dua kelompok. Satu kelompok berpihak kepada pendapat imam Malik dan memperjuangkannya, sedang kelompok satunya cenderung memilih pendapat imam Abu Hanifah dan dengan getol memperjuangkannya pula.”
Mendengar jawaban dari Rabi’ tersebut, Imam Syafi’i berkata, “Saya harap bisa secepatnya datang ke Mesir. Lalu aku membawakan untuk mereka satu madzhab baru yang dapat menyibukkan mereka dari dua pendapat itu semua.”
Dan sekarang, memang benar apa yang diucapkan imam Syaf’i saat itu. Beliau sangat dicintai para pengikutnya, bersikap dermawan terhadap mereka, dan senantiasa membantu mereka dalam segala perkaranya. Imam Syafi’i dikenal banyak orang dan beliau memiliki murid di Baghdad, Mesir, dan juga di Khurasan.

Periodesasi Perjalanan Madzhab Syafi’i
Dalam perjalanannya, ternyata madzhab Syafi’i telah melewati beberapa periode sebagaimana dapat digambarkan seperti berikut ini.
Pertama, periode pembentukan madzhab (Marhalah I’dâd wa at-Takwîn)
Periode ini dimulai sejak wafatnya imam Malik (189 H) dan terus berlanjut sekitar hampir sepuluh tahun sampai imam Syafi’i datang ke Baghdad untuk kedua kalinya, yaitu pada tahun 195 H.
Kedua, periode munculnya Madzhab Qadim
Periode ini berlangsung sejak kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad untuk kedua kalinya (195 H) sampai beliau pergi ke Mesir pada tahun 199 H.
Ketiga, periode pematangan dan penyempurnaan Madzhab Jadîd
Dimulai sejak kedatangan Imam Syafi’i di Mesir hingga wafatnya pada tahun 204 H.
Keempat, periode Takhrîj wa Tadzyil (penyuntingan ulang)
Periode ini dilakukan oleh para pengikut Imam Syafi’i atau Ashhâb asy-Syâfi’i setelah beliau wafat dan terus berlangsung hingga pertengahan abad ke-5 –sebagian para peneliti menyebutkan hingga abad ke-7 H. Pada periode ini, Ashhab Syafi’i mulai menguraikan permasalahan-permasalahan yang diamabil dari dasar madzhab.
Kelima, periode penetapan madzhab (Marhalah Istiqrâr)
Disebut demikian karena pada periode ini telah berdiri madrasah-madrasah madzhab, telah berhasil menyatukan pendapat-pendapat yang bertentangan, dan telah selesai juga menarjihkan satu pendapat dari perkara yang diperselihkan ulama’ madzhab (perselisihan pendapat intern madzhab). Selain itu, pada periode ini pula telah berhasil mengkodifikasikan kitab ringkasan dalam madzhab yang berisi pendapat-pendapat yang rajih (diunggulkan) dalam madzhab beserta penjelasan (syarahnya) dengan metode madrasahnya masing-masing. (bersambung)
Diposting oleh Mesba Label:
Udara Kairo pagi ini lebih dingin dari biasanya. Sekitar 13 derajat celcius. Lumayan dingin untuk ukuran anak pesisir seperti aku ini yang terbiasa dengan hawa panas. Dengan sedikit asa dan serpihan harapan-harapan yang tersisa, aku putuskan keluar rumah untuk pergi ke kuliah. Berharap di sana aku mendapat kabar terbaru tentang perkuliahan, terlebih kabar-kabar yang berkaitan dengan ujian. Seperti biasa, di saat-saat menjelang ujian seperti ini, informasi-informasi dari bangku perkuliahan sangat membantuku dalam menghadapi ujian. Maklum, sudah beberapa hari ini aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke luar rumah dan cenderung lebih suka menghabiskan waktuku berlama-lama di depan monitor. Menunaikan amanat sekaligus mencari penghasilan. Sekedar untuk bertahan hidup dan membayar sewa kontrakan.

Tepat jam 09 pagi waktu Kairo aku keluar rumah. Namun, mungkin ini bukan hariku. Bus 80 coret yang biasa mengantarkanku ke kuliah terlihat meluncur deras di hadapanku tanpa sempat kukejar. Artinya, aku harus menunggu lagi sekitar 15-30 menitan kedepan untuk menanti datangnya 80 coret yang lain. Setibanya di kuliah, agar tidak menghabiskan banyak waktu, aku percepat langkahku menuju kampusku tercinta, Al-Azhar University. Universitas Islam tertua di dunia. Lagi-lagi, sialnya aku hari ini. Setibanya di sana, kelasku kosong. Selesai sudah harapanku. Bangku-bangku kuliah sudah tertata rapi, hanya ada satu atau dua orang Mesir saja yang masih duduk-duduk menunggu datangnya dosen. Kupikir-pikir, mungkin "muhadharah" sudah selesai. Dan aku harus cepat-cepat pulang membaca diktat dan mengejar ketertinggalanku selama ini.

Udara dingin itu serasa hilang seketika saat aku mulai menyandarkan bahuku di atas jok kursi bus 80 coret yang hendak membawaku pulang. Kali ini, suasana dalam bus nampak terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sangat tenang dan nyaman. Aku serasa tersihir oleh lantunan indah ayat-ayat Al-Qur'an yang aku sendiri belum begitu mengenal siapa pelantunnya. Sungguh mengagumkan. Biasanya, di dalam kamar, aku lebih sering mendengarkan murattalnya imam Ghamidzi, Misyari Rasyid, Hani ar-Rifa'i, Yasir Salamah, dan satu lagi, Abdurrahman Sudaisy yang setidaknya mampu membantuku dalam muraja'ah hafalan Al-Qur`an. Kali ini bacaannya lain. Tanpa kusadari bibirku bergerak-gerak mengikuti lantunan bacaan Syeikh tadi. Kebetulan aku hafal benar surat yang dibacanya. Surat Al-Baqarah. Surat yang sempat aku hafalkan saat aku masih duduk di bangku SMA. Tidak hanya kejadian itu. Aku juga dikejutkan dengan anak kecil berumuran sekitar 12 tahunan berkebangsaan Tan. Entah itu ia berasal dari Uzbekistan, Tajikistan, atau Tan-tan yang lain. Mengagumkan. Anak sekecil itu semangat sekali menghafalkan "nazham" (bait-bait) matan Syathibiyyah. Salah satu kitab yang sangat terkenal yang membahas bacaan al-Qur`an. Kitab yang dikarang oleh imam Syathibi ini berisi tentang Qira'ah Sab'ah (tujuh bacaan Al-Qur`an yang mutawatir). Dulu, aku sempat mengkaji kitab itu bersama Dr. Hani Abdul Mukmin, di Madziyafah. Sebuah tempat kecil di bilangan Husein di depan gerbang kampus Al-Azhar. Pengajarnya kebanyakan dari ulama-ulama Azhar. Itu pun tak berlangsung lama. Aku malu dengan diriku sendiri. Seakaan-akan, aku mendapat pukulan telak dari anak kecil itu. Di usiaku yang ke-22 ini, aku masih merasa belum memiliki apa-apa. Parahnya lagi, aku sekarang sedang duduk di tingkat akhir dan sebentar lagi selesai -biidznillah- kemudian pulang ke tanah air. Lantas, apa yang bisa aku berikan kepada masyarakatku nanti? Ah, tak ada gunanya menyesal sekarang. Kubuang jauh-jauh penyesalan itu. Lalu aku mencoba mentadabburi lantunan ayat Al-Qur`an yang sempat kudengar tadi. Surat Al-Baqarah. Surat kedua dalam urutan mushaf Al-Qur`an. Aku teringat, dalam surat Al-Baqarah itu dijelaskan tiga macam golongan manusia, yaitu: Mukmin, Munafik, dan Kafir, yang semuanya memiliki karakter yang berbeda-beda. Aku berusaha menariknya ke dalam kehidupan kita sekarang ini, sekaligus meringkasnya menjadi dua. Manusia yang berhati baik, dan satunya berhati buruk. Aku pun teringat dengan fenomena kehidupan yang sedang kita jalani. Kataku, sungguh sengsara mereka yang berharap surga Firdaus, tidak ada yang bohong, menipu, dan berbuat zalim. Sungguh kasihan orang yang beraharap melihat umat manusia berubah menjadi para malaikat, saling mengasihi, hanya mengenal perasaan halus dan berbuat baik. Aku sadar, kehidupan yang kita jalani ini sangat beraneka ragam dan manusia yang ada di dalamnya pun sangat heterogen. Sebagian ada yang suka berbuat baik, seperti makhluk yang sangat lemah lembut, dan ada pula yang kekejamamnya melebihi srigala dan ular saat ia berkhianat dan menyakiti orang lain. Sejak kedengkian menggerakkan Kabil untuk membunuh Habil, dunia mulai penuh dengan warna-warni, kebaikan dan kejahatan, penindasaan dan kekuasaan, cinta dan dengki, aman dan cemas.

Mungkin, peran yang harus kita lakukan adalah menjalani kehidupan ini dengan penuh semangat perjuangan, cita-cita tanggap dan tentunya realistis. Selanjutnya, kita harus menjalani kehidupai ini dengan serba positif dan menuntut adanya perubahan. Jangan sampai kita terperangkap dalam jurang-jurang kesalahan dan lembah-lembah kekurangan. Pikirku, jika kita sudah saling mencintai dan berbuat baik, niscaya nikmat luar biasa akan kita dapatkan dan itu harus kita syukuri. Akan tetapi, jika yang kita dapatkan tidak seperti yang diinginkan, maka inilah konsekuensi yang harus kita pikul bersama, yaitu sebuah bencana yang menuntut kesabaran. Dan dengan kesabaran itulah, kita akan mendapatkan pahala.

Berkenaan dengan hal itu, aku mencoba menyimpulkan bahwa kehidupan bukan hanyalah hutan belantara yang menjadi tempat serigala-serigala liar mencari mangsa. Aku yakin, bahwa di belakang kebenaran, banyak tokoh-tokoh yang berdiri dengan gagah di manapun dan kapanpun serta tangan-tangan yang akan mengulurkan kebaikan pun sangat banyak. Akan tetapi, sebelum berjumpa dengan mereka, sudah selazimnya bagi kita semua untuk membiasakan diri dalam menghadapi orang lain, sehingga kita tidak akan tersakiti, mudah menyerah dan menghabiskan usia hanya dengan menggigit jari, selain juga harus senantiasa mempersiapkan kehidupan setelah mati nanti. Aku teringat sebuah pesan singkat dari Mushtafa Shadiq ar-Rafi'i, seorang sastrawan berkebangsaan Mesir keturunan Libanon yang juga penulis kitab Wahyu al-Qalam (Sabda Pena) dan I'jaz al-Qur'an wa Balaghah as-Sunnah an-Nabawiyyah, beliau pernah mengatakan, “Sebagaimana kelompok penjahat akan merugikan orang-orang saleh saat melakukan kejahatan, orang-orang saleh pun akan merugikan yang lain jika tidak beramal saleh.”

Upz, bus yang kutumpangi sudah sampai di Mahattah Akhir Hay Asyir. Tandanya, aku harus turun dan kembali lagi ke rumah. Mungkin inilah sekelumit hikmah yang aku dapatkan hari ini. Sebuah khayalan yang terinsipasi dari bacaan Al-Qur`an. Sungguh, Al-Qur`an merupakan sumber hikmah yang tak akan pernah surut.

Bengkel Terjemah cab. Madrasah, 23 Desember 2008
Diposting oleh Mesba Label:
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates